Kamis, 22 Desember 2011

PUISI-PUISIKU ^-^

Kepompong Laut
Kulihat tubuhnya  basah
Tersisir gelombang barat yang semakin menggemuruh
Membauri tubuhmu lesuh.
Menggelimuti jiwamu yang selalu kukuh.


Semakin gagah kau mendayung dan mendayung
Membawa pancing rawit yang penuh dengan umpan
Berbekal kopi pekat dan nasi putih 
Kau bergerak kukuh dan penuh harapan


Kau lewati angin yang mendesir kencang
Menuju lautan lepas yang menantang
Kau lewati gelombang yang seakan terbang
Menuju lautan yang semakin gersang

    Kepompong laut, itulah gelarmu.
    Demi menyuapi mulut istri dan anakmu
    Kau lewati tantangan itu setiap hari beradu
    Tanpa gentar dan jiwa yang merdu
    Kau terus berharap ketika malam  berlalu
    Dan umpan rawitmu pun termakan ikan yang terpacu

Senyummu pun mekar
Melihat umpan rawit termakan ikan karapu dan sunu

     Kau pun berbalik mendayung sampangmu menuju daratan penantian
    Tak sabar menyaksikan senyuman indah di balik bibir istri dan anakmu
    Menyaksikan dirimu membawa ikan karapu dan sunu
    Menyisitkan kelelahanmu yang tak pernah membeku.

Kendari, 29  April 2010

Cucu Kotaku

Dari sudut mata memandang
Menyaksikan cucu kota yang mulai binar
Disambut matahari yang mulai segar

    Raga dan jiwaku pun mulai bereaktivitas
    Merancang rasa menjadi sulaman fonem
    Merangkai bunga kata menjadi cerita
    Guna melukiskan cucu kota yang mulai merembes

Ya inilah sebuah cucu kota, cucu kota Bombana
Yang dinobatkan dengan nama Puulemo
cucu kota, di mana   mata ibuku dan mataku pertama berpadu
Cucu kota , di mana zat-zat dunia mulai masuk dalam tubuhku
Cucu kota yang seakan terabaikan oleh manik-manik mata ibu kota
Cucu kota  yang mampu menyiapkan sari pati kehidupan bagiku dan keluargaku

    Jikalah hari mulai kekar, meyinari cucu kota ini
    Manik-manik mata pun mulai segar
Menyaksikan hari yang masih lembab
    Menyaksikan cakrawala  biru  yang dikhiasi kupu-kupu laut di atas ombak suci
Menyimaki  gemuruh ombak, katinting, dan desiran insani menanti kupu-kupu laut membawa sari-sari bunga laut.
Sari-sari bunga laut yang mampu menyuapi ratusan insani di cucu kota ini

Jikalah hari mulai lelah
Manik-manik mata pun mulai menguning
Menyaksikan matahari yang telah lumpuh , misau kuningnya yang garang tergelimpang di lautan
Meredupi suara suara insani yang semakin terkalahkan oleh gonggongan anjing dan siulan burung hantu

    Para insani pun berlomba-lomba memasuki gubuk kehidupannya.
     Merenggut kembali keluarganya yang sempat terpisah oleh desiran hidup
Gubuk-gubuk kehidupan pun mulai bersembunyi
Di balik malam yang semakin meredup
Diterangi oleh neon kecil yang tak berion.
Cucu kota pun tersulap menjadi kebun kunang-kunang

    Di antara gubuk-gubuk kehidupan itu tersimak siulan indah
    Siulanlan gadis dan keluarganya yang sedang bercerita dan bercanda
    Melepaskan kelelapan, menanti hari yang kekar esok hari.
   
            Kendari, 5 Mei 2010

Lombok Merah
Kumekarkan merahmu di tengah belati kecil
Memastikanmu diam dalam ramping tubuhmu
Melototkan mata bersama teman-temanmu
Hingga akhirnya kau membiarkan dirimu terulek oleh jari-jari ganas
    Di atas ulekan, wajan, meja makan  kau selalu tersenyum
    Dan bahkan ketika mulut-mulut murka menghampirimu
    Kau terus saja tersenyum dengan merahmu.
Membiarkan dirimu dilumat lidah
Untuk mengenalkan bahwa kaulah simerah
Yang tak bisa lepas dari seribu rasa kerakusan manusia.

Kendari, 28 Mei 2010

Dara Matasia

Dara Matasia
Kini hanya bisa  mendengkur pada luka waktu

Barangkali dia lelah  pada tempatnya
Demi tanggung-jawab sebagai perempuan Bugis yang bersenggama di hembus nafasnya

Rambut suri yang terawat abad
Dan terpotong adat
Membuatnya  terusik nista

    Jerit yang panjang
Dari sunyi hutan
Menanggung nasib
               Sebelum ajal tiba

Membiarkan waktu
Melalui nasibnya
Membiarkan ilalang
 Tumbuh  dengan suburnya

    Tapi katakan, apa sebenarnya
Yang telah kau lakukan Dara Matasia ?
Membiarkan bintangmu bersembunyi,
Membiarkan mimpimu tiada arti,
Atau membiarkan kesedihan tumbuh di namamu. Dara Matasia

Maka kau pun berbisik, “maka jika esok aku mati,
Dengan nama yang masih terluka,
Kuharap kalian tahu dengan kegilaan ini”.

Kendari , 29 Mei 2010.

Cahaya Indah

Gemercik air hujan menyatukan tatapan ini
Dingin angin hujan mendesirkan rasa yang misteri
Sesosok Adam telah kutemui di sudut ini
Menyaksikannya dengan nafas yang sedikit terhenti
    Kutemui cahaya indah dalam dirinya
    Menyinarkan sejuta rasa dalam sukmaku
    Menumbuhkan aza yang hampir layu
Cahaya indahnya terus bersinar
walau waktu semakin jenuh.
Namun hati siapa tahu
Kalau dia tak akan jenuh seperti waktu
    Memupuk mimpi bersama aza
    Merajuk khayal menjadi nyata.
   
Kendari, 10 Juni 2010.

1 komentar:

  1. YANG KUDAMBA
    kususuri jejakmu dari kota hingga ke desamu
    melalui abjad satu-persatu yang tak kamu tahu
    aku terluka disimpang jalan kotamu. pemudanya mencemo'ohku, saat perhatikan langkahmu yang menjauh. dalam sembunyiku kutemukan abjad baru
    yang membuat parah lukaku.tangan-tangan lelaki mengarahkan telunjuknya ke arahku...lima abjad
    yang baru kutemukan, kini menyerangku; "pergi"
    ini 'kendari' bukan 'betawi'. tak ada alasan untuk kujawab walau kesempatan sangat berharap

    konsentrasiku tinggi dan penuh ambisi menjagamu
    hanya ingin mendampingi kepergianmu. aku harus
    berucap apa 'tuk meyakinkan dirimu.membaca aku takut makin terluka, diam tak bernilai pejuang

    ijinkan aku bicara dalam pelukanmu, agar detak
    semangat juangku dapat diartikan kelembutanmu
    semakin kau menjauh, bathin ini bicara semakin dekatnya dirimu.kusiap menemanimu dalam terang mau pun gelap. "percayalah",itu kata persiapan bisikku nanti, kepada, dirimu dambaan hati.

    serpong, 8 agustus 2012
    @es@

    ATT. maaf, komentarku terbawa arus tuk berpuisi.
    INTINYA AKU MENILAI BAGUS...DAN BANGGA PADAMU. salutlah!

    BalasHapus