Kepompong Laut
Kulihat tubuhnya basah
Tersisir gelombang barat yang semakin menggemuruh
Membauri tubuhmu lesuh.
Menggelimuti jiwamu yang selalu kukuh.
Semakin gagah kau mendayung dan mendayung
Membawa pancing rawit yang penuh dengan umpan
Berbekal kopi pekat dan nasi putih
Kau bergerak kukuh dan penuh harapan
Kau lewati angin yang mendesir kencang
Menuju lautan lepas yang menantang
Kau lewati gelombang yang seakan terbang
Menuju lautan yang semakin gersang
Kepompong laut, itulah gelarmu.
Demi menyuapi mulut istri dan anakmu
Kau lewati tantangan itu setiap hari beradu
Tanpa gentar dan jiwa yang merdu
Kau terus berharap ketika malam berlalu
Dan umpan rawitmu pun termakan ikan yang terpacu
Senyummu pun mekar
Melihat umpan rawit termakan ikan karapu dan sunu
Kau pun berbalik mendayung sampangmu menuju daratan penantian
Tak sabar menyaksikan senyuman indah di balik bibir istri dan anakmu
Menyaksikan dirimu membawa ikan karapu dan sunu
Menyisitkan kelelahanmu yang tak pernah membeku.
Kendari, 29 April 2010
Cucu Kotaku
Dari sudut mata memandang
Menyaksikan cucu kota yang mulai binar
Disambut matahari yang mulai segar
Raga dan jiwaku pun mulai bereaktivitas
Merancang rasa menjadi sulaman fonem
Merangkai bunga kata menjadi cerita
Guna melukiskan cucu kota yang mulai merembes
Ya inilah sebuah cucu kota, cucu kota Bombana
Yang dinobatkan dengan nama Puulemo
cucu kota, di mana mata ibuku dan mataku pertama berpadu
Cucu kota , di mana zat-zat dunia mulai masuk dalam tubuhku
Cucu kota yang seakan terabaikan oleh manik-manik mata ibu kota
Cucu kota yang mampu menyiapkan sari pati kehidupan bagiku dan keluargaku
Jikalah hari mulai kekar, meyinari cucu kota ini
Manik-manik mata pun mulai segar
Menyaksikan hari yang masih lembab
Menyaksikan cakrawala biru yang dikhiasi kupu-kupu laut di atas ombak suci
Menyimaki gemuruh ombak, katinting, dan desiran insani menanti kupu-kupu laut membawa sari-sari bunga laut.
Sari-sari bunga laut yang mampu menyuapi ratusan insani di cucu kota ini
Jikalah hari mulai lelah
Manik-manik mata pun mulai menguning
Menyaksikan matahari yang telah lumpuh , misau kuningnya yang garang tergelimpang di lautan
Meredupi suara suara insani yang semakin terkalahkan oleh gonggongan anjing dan siulan burung hantu
Para insani pun berlomba-lomba memasuki gubuk kehidupannya.
Merenggut kembali keluarganya yang sempat terpisah oleh desiran hidup
Gubuk-gubuk kehidupan pun mulai bersembunyi
Di balik malam yang semakin meredup
Diterangi oleh neon kecil yang tak berion.
Cucu kota pun tersulap menjadi kebun kunang-kunang
Di antara gubuk-gubuk kehidupan itu tersimak siulan indah
Siulanlan gadis dan keluarganya yang sedang bercerita dan bercanda
Melepaskan kelelapan, menanti hari yang kekar esok hari.
Kendari, 5 Mei 2010
Lombok Merah
Kumekarkan merahmu di tengah belati kecil
Memastikanmu diam dalam ramping tubuhmu
Melototkan mata bersama teman-temanmu
Hingga akhirnya kau membiarkan dirimu terulek oleh jari-jari ganas
Di atas ulekan, wajan, meja makan kau selalu tersenyum
Dan bahkan ketika mulut-mulut murka menghampirimu
Kau terus saja tersenyum dengan merahmu.
Membiarkan dirimu dilumat lidah
Untuk mengenalkan bahwa kaulah simerah
Yang tak bisa lepas dari seribu rasa kerakusan manusia.
Kendari, 28 Mei 2010
Dara Matasia
Dara Matasia
Kini hanya bisa mendengkur pada luka waktu
Barangkali dia lelah pada tempatnya
Demi tanggung-jawab sebagai perempuan Bugis yang bersenggama di hembus nafasnya
Rambut suri yang terawat abad
Dan terpotong adat
Membuatnya terusik nista
Jerit yang panjang
Dari sunyi hutan
Menanggung nasib
Sebelum ajal tiba
Membiarkan waktu
Melalui nasibnya
Membiarkan ilalang
Tumbuh dengan suburnya
Tapi katakan, apa sebenarnya
Yang telah kau lakukan Dara Matasia ?
Membiarkan bintangmu bersembunyi,
Membiarkan mimpimu tiada arti,
Atau membiarkan kesedihan tumbuh di namamu. Dara Matasia
Maka kau pun berbisik, “maka jika esok aku mati,
Dengan nama yang masih terluka,
Kuharap kalian tahu dengan kegilaan ini”.
Kendari , 29 Mei 2010.
Cahaya Indah
Gemercik air hujan menyatukan tatapan ini
Dingin angin hujan mendesirkan rasa yang misteri
Sesosok Adam telah kutemui di sudut ini
Menyaksikannya dengan nafas yang sedikit terhenti
Kutemui cahaya indah dalam dirinya
Menyinarkan sejuta rasa dalam sukmaku
Menumbuhkan aza yang hampir layu
Cahaya indahnya terus bersinar
walau waktu semakin jenuh.
Namun hati siapa tahu
Kalau dia tak akan jenuh seperti waktu
Memupuk mimpi bersama aza
Merajuk khayal menjadi nyata.
Kendari, 10 Juni 2010.
YANG KUDAMBA
BalasHapuskususuri jejakmu dari kota hingga ke desamu
melalui abjad satu-persatu yang tak kamu tahu
aku terluka disimpang jalan kotamu. pemudanya mencemo'ohku, saat perhatikan langkahmu yang menjauh. dalam sembunyiku kutemukan abjad baru
yang membuat parah lukaku.tangan-tangan lelaki mengarahkan telunjuknya ke arahku...lima abjad
yang baru kutemukan, kini menyerangku; "pergi"
ini 'kendari' bukan 'betawi'. tak ada alasan untuk kujawab walau kesempatan sangat berharap
konsentrasiku tinggi dan penuh ambisi menjagamu
hanya ingin mendampingi kepergianmu. aku harus
berucap apa 'tuk meyakinkan dirimu.membaca aku takut makin terluka, diam tak bernilai pejuang
ijinkan aku bicara dalam pelukanmu, agar detak
semangat juangku dapat diartikan kelembutanmu
semakin kau menjauh, bathin ini bicara semakin dekatnya dirimu.kusiap menemanimu dalam terang mau pun gelap. "percayalah",itu kata persiapan bisikku nanti, kepada, dirimu dambaan hati.
serpong, 8 agustus 2012
@es@
ATT. maaf, komentarku terbawa arus tuk berpuisi.
INTINYA AKU MENILAI BAGUS...DAN BANGGA PADAMU. salutlah!