Senin, 19 Desember 2011

MENGGALI NILAI-NILAI BUDAYA DALAM SIRI` NA PESSE

Judul        :  The Secret of Siri` Na Pesse.
Penulis      :  Mustari Idris Mannahao.
Penerbit    :  Pustaka Refleksi.
Cetakan    :  1, 2010
Halaman   :  195 halaman.

Memahami tentang kultur budaya untuk masa sekarang ini, seringkali dan bahkan sudah terabaikan. Apalagi ketika kita berada dalam kondisi yang membuat kita terpisahkan dan terasingkan jauh dari tempat di mana seharusnya kita menanamkan dan memahami budaya tersebut.
Tetapi kita harus konsisten bahwa untuk memahami dan menafsirkan sesuatu tidak selalu menuntut kita untuk ada dan dekat dengan sesuatu tersebut, namun dengan kesadaran dan pemahaman untuk bisa selalu berusaha memahami hal itu akan membawa kita merasa hidup dan dekat dengan sesuatu tersebut, sehingga bisa menghasilkan multi tafsir yang akan memberi pemahaman dan kesadaran dalam diri kita untuk merealisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Begitupun halnya dengan budaya. Untuk memaham budaya, bukan berarti kita harus hidup di mana asal-muasal budaya itu ada, namun di manapun kita berada, karena budaya tertanam dalam diri kita sejak kita terlahir. Jika kecintaan kita yang sudah ditanamkan dalam diri akan selalu menemani di manapun kita berada dan hidup.

    Budaya sebagai sesuatu yang sakral dan harus dipelihara, menjadikan sebuah kelompok dituntut bersikap loyal untuk memelihara nilai-nilai yang ada. Nilai-nilai yang berfungsi untuk menjaga tingkah laku para pengadopsinya. “wujud ideal dari kebudayaan adalah sifatnya yang abstrak tak dapat diraba atau difoto”. Dengan wujud yang abstrak itu bukan berarti budaya merupakan sesuatu yang tidak jelas atau tidak nyata. Namun, artinya adalah dalam memahami budaya-budaya tersebut dibutukan penafsiran-penafsiran yang bukan hanya dari satu golongan atau satu sudut pandang saja, misalnya dari budayawan saja.  Tetapi juga diperlukan penafsiran-penafsiran dari orang yang kompeten di bidang itu, maupun pelaku yang mengadopsi suatu budaya.
    Dalam budaya Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar) ada sebuah istilah atau semacam jargon yang mencerminkan identitas serta watak orang Bugis-Makassar, yaitu Siri` Na Pesse.
    Hal seperti itulah yang digambarkan dalam buku yang berjudul The Secret of Siri` Na Pesse. Mengungkap nilai-nilai budaya yang tersembunyi dalam Budaya Siri` Na Pesse, yang ditulis oleh Mustari Idris Mannahao ini. Dalam buku yang mengambil latar belakang kondisi sosial masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar, suku yang telah mendiami daerah Sulawesi Selatan, yang telah ada sejak berabad-abad tahun yang lalu ini, menunjukkan bahwa budaya Siri` Na Pesse yang di dalamnya terkandung empat nilai dasar yang melandasi Siri` Na Pesse yaitu lempu- jujur-honest, acca- cerdas-smart, warani-berani-caurage, dan mappesona Ri Dewata Sewwa`E- tawakkal-resignation.
    Secara Ladzfiah Siri` berarti rasa malu (harga diri), sedangkan Pesse yang berarti pedas (keras, kokoh pendirian). Jadi Pesse berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan individu lain dalam komunitas.
    Layaknya sebuah tradisi, secara turun temurun ini akan menjadi pegangan dan pedoman. Bila mana pada suatu generasi penafsiran meleset, maka akan berdampak ke generasi berikutnya. Jika terjadi disintegrasi terhadap penafsiran Siri` Na Pesse ini, maka tentunya akan berdampak kepada kelanjutan eksistensi falsafah kepada generasi yang akan datang, Inilah yang menjadi kekhawatiran banyak pihak, sehingga harus diluruskan agar kedepannya ini tetap bisa menjadi pedoman, pegangan serta ciri khas masyarakat Bugis-Makassar ke depannya.
    Siri` yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sacral. Siri Na Pesse` adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari karakter orang Bugis-Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang hilang Siri`na atau de`gaga siri`na (hilang malunya atau tidak mempunyai malu), maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan derajat orang-orang yang hilang malunya, diibaratkan seperti binatang (sirupai olo` kolo`e). selain itu, ada juga falsafah yang berbunyi “Siri`mi Narituo”, artinya karena malu kita hidup.
    Pada dasarnya siri` terbagi dalam dua jenis, yaitu siri` nipakasiri` (eksternal), yang terjadi apabila seseorang dihina atau dipermalukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau keluarganya bila ia sendiri tidak mamapu) harus menegakkan siri`nya untuk mengembalikan dignity (harga diri) yang telah dirampas sebelumnya. Jika ia tidak berusaha merebut kembali atau mengembalikan harga dirinya, maka ia akan dijuluki mate siri` (hilang harkat dan martabatnya sebagai manusia). Hal yang paling sering terjadi berkaitan dengan ripakasiri` (dibuat malu), yaitu jika salah satu anggota keluarga perempuan diganggu atau dibawa lari oleh laki-laki (silariang), ini merupakan ripakasiri` yang dianggap sangat mencoreng harga diri. Oleh karena itu, orang yang dipakasiri` (anggota keluarga perempuan) berjuang atau bahkan mereka rela mati hanya untuk mengembalikan siri`nya. Seperti mencari anggota keluarga yang silariang tersebut yang dianggap makkabbiang siri` (memalukan harkat dan martabat keluarga) bahkan tidak sedikit hal ini berujung ketegangan karena penyelesain masalah yang sangat rumit.
    Untuk orang Bugis-Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga siri`nya dari pada hidup tanpa siri`. Mereka terkenal di mana-mana di Indonesia dengan mudah suka berkelahi kalau merasa dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak sesuai dengan derajatnya. Meninggal karena siri` disebut mate rigollai, mate risantangi artnya mati karena memperjuangkan siri`nya (harga diirnya), ia diibaratkan mati secara manis atau mati untuk sesuatu yang berguna. Sebaliknya jika menghina, memaki, dan sabagainya, karena bukan alasan mempertahankan siri`nya tapi dengan alasan lain, maka justru ia dianggap hina. Begitu pula lebih-lebih dianggap hina melakukan kekerasan terhadap orang lain dengan hanya alasan politik, ekonomi, atau dengan kata lain semua alasan perkelahian selain daripada siri`, dianggap semacam kotoran jiwa yang dapat menghilangkan harkat dan martabat kita. Tetapi kita harus mengerti bahwa siri` itu tidak bersifat menentang saja tetapi juga merupakan perasaan halus dan suci. Seseorang yang tidak mendengarkan nasihat orang tuanya dianggap kurang siri`nya. Seseorang yang suka mencuri, atau yang tidak menjalankan ajaran agama yang dianutnya atau tidak sopan santun dalam bersikap dan bertutur kepada orang lain, juga dianggap kurang siri`nya.
Jenis siri` yang kedua adalah siri` masiri` (interrnal), yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi siri` itu sendiri, demi siri` keluarga dan kelompok. Dalam hal demikian orang yang bersangkutan tidak dihina atau dengan artian bahwa siri` itu tidak ditimbulkan oleh orang lain terhadapnya, tetapi siri` masiri` muncul dari dalam diri seseorang itu sendiri, karena telah berbuat sesuatu yang menurutnya tidak pantas ataupun merugikan orang lain.
    Selain siri` dikenal juga Pesse sebagai nilai budaya yang tak terpisahkan dari siri` yang bermakna perasaan pedih dan perih yang dirasakan meresap dalam kalbu seseorang karena melihat penderitaan orang lain. Pesse atau kata lain dalam bahasa Bugis (esse babua), yang juga bisa dimaknai rasa kasihan yang tinggi kepada orang lain (empati).
    Siri` Na Pesse ini adalah nilai-nilai dasar yang seharusnya dimiliki sebagai karakter dalam bereaktifitas dalam kehidupan sehari-hari bagi setiap laki-laki dan perempuan, apapun profesi yang sedang dijalankan, di manapun berada dan situasi apapun yang selalu mengedepankan nilai-nilai dasar tersebut.
    Dalam prinsip Siri` Na Pesse ini, terkandung empat nilai dasar yang melandasi Siri` Na Pesse tersebut, yaitu Lempu-jujur, Acca-cerdas, Warani-berani dan Mappesona Ri Dewata Sewwa-E, yang terealisasikan dalam beberapa sikap dalam kehidupan sehari-hari. Keempat nilai tersebut saling berkaitan dan saling menunjang yang sesuai dengan kondisinya. Mengapa dikatakan bahwa keempat nilai inilah yang melandasi adanya Siri` Na Pesse ? karena pada dasarnya Siri` terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu siri` riwatakkale (malu dengan diri sendiri), siri` ripadatta rupatau (malu kepada sesama manusia), dan siri` ri dewatae (malu kepada Allah Swt). Hal ini seiring dalam paseng (ungkapan) orang Bugis-Makassar “duai temmallaiseng, tellue temmasserang” artinya dua hal yang tak terpisahkan dan tiga hal yang tak terceraikan. Maksudnya adalah dua hal yang tak terpisahkan yaitu badaniah dan batiniah, sedangkan tiga yang tak terceraikan yaitu Allah Swt, Nabi Muhammad SAW dan manusia itu sendiri. Dalam ketiga tingkatan siri` tersebut, masiri` (malu pada diri sendiri jika ia tidak cerdas, dalam artian malu jika ia tidak memiliki kecerdasan untuk berkembang, malu jika ia berbohong, malu jika ia tidak pemberani dan malu jika ia tidak agamis (taat beribadah).
Pengembangan dari keempat nilai-nilai tersebut dapat kita lihat keterkaitannya sebagai berikut : kalau kita memiliki kecerdasan dalam belajar atau dalam mengerjakan sesuatu tetapi tidak memiliki lempu (kejujuran) maka sesuatu yang kita lakukan tersebut tidak akan bertahan lama, sebab kita akan kehilangan kepercayaan dari orang lain atau partner kerja kita. Begitupula, walaupun kita jujur tapi kita tidak memiliki keberanian untuk bertindak, juga tidak akan menghasilkan apa-apa.atau kita memiliki sikap warani (pemberani) tetapi tidak disertai dengan acca (cerdas) dan lempu (jujur), maka keberanian itu menjadi tidak terarah bahkan bisa berubah menjadi sebuah ketakutan, akhirnya menjadi penghalang besar bagi kita untuk berbuat. Itulah sebabnya keempat hal ini sebisa mungkin dimiliki dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, karena keempat nilai-nilai inilah yang merupakan ciri utama yang menentukan ada tidaknya Siri` pada diri seseorang.
Dalam pemahaman seperti itulah orang Bugis-Makassar menganggap bahwa Siri` Na Pesse adalah budaya dan falsafah yang harus dimiliki seseorang yang dianggap melandasi hidup sebagai makhluk individu, manusia sebagai makhluk sosial (berinteraksi dengan orang lain), dan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki kewajiban untuk selalu beribadah dan berserah diri.
Dari buku yang bersetting masyarakat Bugis-Makassar ini pembaca dapat memahami bahwa atas dasar nilai-nilai tersebutlah mengapa Siri` Na Pesse merupakan falsafah sakral dan dipertahankan dalam masyarakat Bugis-Makassar. Namun, bukan berarti buku ini adalah buku yang hanya diperuntukkan atau hanya bisa dibaca masyarakat Bugis-Makassar saja, tetapi diperuntukkan bagi seluruh warga Indonesia. Karena jika kita merefleksi diri bahwa pada dasarnya budaya malu dan empati seharusnya dimiliki oleh setiap orang, dalam artian masyarakat Indonesia yang terkenal dengan budaya timurnya.
    Akan tetapi, bagi pembaca di Indonesia, akan lebih menarik jika Mustari Idris sebagai penulis buku ini dapat secara detail menunjukkan atau menggambarkan kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, bagaimana tata krama kehidupannya, agar pembaca yang bukan hanya dari kalangan masyarakat Bugis-Makassar, tetapi masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa bisa memahami lebih dalam dan lebih dekat pengaplikasian Siri` Na Pesse tersebut.

   
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar