Senin, 19 Desember 2011

Persoalan Kasta dalam Dua Naskah Drama Bulan Muda yang Terbenam Karya La Ode Balawa dan Ningrat Karya La Ode Sadia

Abstrak
 Tujuan penganalisisan ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang jelas dan menyeluruh mengenai budaya-budaya dan tradisi perjodohan atau pernikahan yang masih berkembang dalam masyarakat Buton dengan melihat bagaimana pengarang menyajikan imajinasinya dengan fonemena dan realitas yang berkembang di masyarakat dan menghubungkannya dengan budaya-budaya lain di luar masyarakat Buton
yang juga memiliki tradisi atau budaya yang sama dengan yang berkembang pada masyarakat Buton seperti yang dikisahkan dalam naskah drama Bulan Muda yang Terbenam karya La Ode Balawa dan naskah drama Ningrat karya La Ode Sadia.


Pendahuluan

Suatu karya sastra tidak tercipta tidak dalam kekosongan sosial budaya, artinya, pada intinya pengarang tidak dengan tiba-tiba mendapat berkah misterius, kemudian dengan elegannya sehingga mampu menciptakan suatu karya sastra. Suatu karya sastra tercipta lebih merupakan hasil pengalaman, pengamatan, pemikiran, refleksi  dan pengamatan budaya pengarang terhadap sesuatu hal yang terjadi dalam dirinya sendiri, dan masyarakat atau apa yang terjadi pada lingkunagn sekitarnya.
Karya sastra juga merupakan suatu krucutusi subjektif pengarang dalam memberikan suatu ide, pemikiran, pesan, dan gagasan sesuatu hal. Dalam hal ini karya sastra tercipta tidak hanya semata-mata ciptaan suatu individu an sich dari pengarang, tetapi ciptaan dari apa yang disebut Lucian Goldmann struktur mental dari suatu individual dari sebuah kelompok sosial, ide-ide, nilai-nilai, dan cita-cita yang diyakini dan dihidupi oleh kelompok sosial tertentu yang sesuai dengan pemikiran pengarang (Eglaton, 2002 :58).
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinsasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya (vision du monde) kepada subjek kolektifnya signifikansi yang dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra berada pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu. Keberadaan sastra demikian itu, menjadikan ia dapat diposisikan sebagai dokumen sosiobudaya (Jabrohim dan Ari Wulandari, 2001 : 61).
Sastra sebagai lembaga sosial yang menyuarakan padangan dunia pengarangnya. Pandangan dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi berdasarkan fonemena sosial dan budaya yang berkembang dalam masyarakat.
Karya sastra, seperti diakui banyak orang, merupakan suatu bentuk komunikasi yang disampaikan dengan cara yang khas dan menolak segala sesuatu yang serba “rutinitas” dengan memberikan kebebasan kepada pengarang untuk menuangkan segala pandangan-pandanagan dunianya. Hal ini menyebabkan karya sastra menjadi lain, tidak lazim, namun juga kompleks sehingga memiliki berbagai kemungkinan penafsiran. Berawal dari inilah kemudian muncul berbagai teori dan pendekatan untuk mengkaji atau menganalisis karya sastra, termasuk karya sastra dalam bentuk drama. Dengan pendekatan tersebut menjadi landasan pembaca untuk memberikan tafsiran, kritik atau penganalisisan terhadap karya sastra drama tersebut. Bagaimana pembaca memahami dan memberikan pemaknaan terhadap apa yang disajikan dalam naskah drama tersebut.
Drama adalah bentuk karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan ( action) dan dialog. Lakuan dan dialog dalam drama tidak jauh beda dengan lakuan serta dialog yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Drama seperti juga karya sastra lain yang merupakan refresentasi imajiner pengarang yang tidak lepas dari latar belakang sosial, dimana lingkungan masih selalu mempengaruhi imajiner pengarang dalam karyanya.
Berdasarkan hal tersebut, dipandang penting mengangkat suatu bentuk karya sastra dalam hal ini drama untuk dianalisis. Dalam  pengkajian ini penulis memilih drama yang berjudul Bulan Muda yang Terbenam karya La Ode Balawa,  Ningrat karya LaOde Sadia, dan Dilarang Kawin karya Iwan Djibran  untuk dijadikan objek penganalisisan. Penulis memilih drama ini karena penulis ingin mengetahui seberapa besar faktor sosial budaya mempengaruhi imajiner pengarang dalam drama tersebut. dengan melihat melihat berbagai faktor, seperti adat istiadat, keturunan, agama, politik, ekonomi, dan sebagainya.
Pembahasan
Pada drama Bulan Muda yang Terbenam merupakan drama yang mengangkat suatu cerita dari kebudayaan Cia-Cia, suatu kebudayaan yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Drama ini menceritakan tentang cinta terlarang antara La Domai dan Wani. Di mana dalam cerita ini menceritakan tentang suatu kebudayaan masyarakat Cia-Cia, Buton yang masih mempertahankan adatnya bahwa golongan atas tidak boleh mencintai golongan bawah begitupun sebaliknya. Amangkali dalam cerita ini berperan sebagai ayahanda Wani yang tetap bersih keras mempertahankan adat tersebut, ia rela mempetaruhkan nyawanya hanya demi menjunjung tinggi budaya dan adat yang selama ini diyakini oleh masyarakat Cia-Cia. Amangkali tidak mahu merestui hubungan Wani anaknya dengan La domai, karena La Domai berasal dari golongan Batuatas yang tidak jelas asal-usulnya, sedangkan ia keturunan bangsawan. Ia telah menjodohkan anaknya dengan orang yang sederajat yang juga berasal dari golongan bangsawan. Meskipun ia tahu bahwa Wani anaknya dengan La Domai saling mencintai, namun ia tidak menghiraukan hal itu, karena menurutnya adat tetaplah adat dan tidak ada orang yang berhak melanggar hal itu, meskipun kematian menjadi taruhannya. Hingga beberapa penasehat kerajaan telah mencoba membujuknya, untuk sedikit sadar dalam mengahadapi hal itu, namun pendirian tidak goyah. Ia tetap pada pendiriannya semula bahwa Wani harus menikah dengan orang yang sederajat. Hingga akhirnya Wani dan La Domai pun mengambil jalan pintas, yaitu kawin lari. Amangkali sangat marah dan malu dengan kejadian itu, hingga mengutus Langkaliti, putranya untuk meyusul adiknya dan menangkap La Domai, namun dalam penangkapan La Domai tersebut terjadi pertarungan antara Langkaliti dengan La Domai, hingga La Domai terbunuh. Karena cinta yang begitu besar Wani pada La Domai, melihat La Domai terbunuh ia pun memilih untuk bunuh diri, sebagai wujud tanggung jawab dan cintanya pada La Domai.
Jika dibandingkan dengan drama Ningrat yang juga mengangkat cerita dari kebudayaan Buton, Sulawesi Tenggara. Drama ini juga mnceritakan tentang kisah cinta terlarang antara Wd. Abe dan La Ege. Dalam drama ini pengarang juga menyajikan bagaimana masyarakat Buton mempertahankan kebudayaan yang mereka yakini golongan atas atau keturunan bangsawan dalam cerita ini diperankan oleh pihak perempuan yaitu Wd. Abe tidak dibolehkan menikah dengan laki-laki yang berasal dari golongan bawah yaitu La Ege. Mereka dianggap tidak sepadan karena perbedaan kasta antara keduanya. Perbedaan kasta, yang menjadi budaya turun temurun dalam cerita ini masih sangat dipertahankan. Walaupun harus mengorbankan perasaan cinta antara kedua insan atau anak-anak mereka. Wd. Abe dan La Ege yang merasa bahwa budaya itu tidak adil bagi mereka, lalu mengambil jalan pintas yaitu kawin lari yang merupakan jalan satu-satunya yang harus ditempuh untuk menyatukan cinta mereka yang terhalang oleh adat yang menjadi jurang pemisah antara keduanya. Walaupun mereka sadar bahwa semua itu salah, namun kekuatan cinta mampu membuat mereka menepis semua rasa bersalah itu. Rasa bersalah yang bukan hanya kepada diri sendiri, namun rasa  bersalah pada orang tua, masyarakat dan kebudayaannya yang dipertahankan oleh leluhurnya.
Melihat kedua drama tersebut yang masing-masing mengangkat tema yang sama dan latar yang sama, yaitu tentang cinta terlarang yang diakibatkan karena perbedaan status atau kasta antara keduanya yang terjadi dalam masyarakat Buton. Drama ini juga diciptakan oleh La Ode Balawa dan La Ode Sadia yang jika dilihat dari gelar bangsawan yang melekat pada mereka menandakan bahwa keduanya juga keturunan bangsawan Buton. Jelas terlihat bahwa lingkungan atau sosial budaya sebagai realita yang betul-betul terjadi dalam masyarakat di mana pengarang berasal, menggambarkan bahwa karya sastra atau drama yang juga merupakan hasil imajiner mereka tidak lepas dengan kondisi atau apa yang terjadi pada masyarakatnya atau kultural atau disebut juga lokalitas pengarangnya. Pengarang melihat bahwa adanya budaya-budaya yang berkembang dalam masyarakatnya yaitu budaya-budaya kastaisme yang masih kental dan selalu dipertahankan. Walaupun kadang pergelokkan cinta mampu melawan dan menepis semua kebudayaan itu, tapi terkadang juga kebudayaan itu menghancurkan hati insan-insan yang terikat dalam lingkup kebudayaan tersebut dan terkadang juga menjadi perang kecil yang bisa menelan korban nyawa, seperti apa yang terjadi dalam drama Bulan Muda yang Terbenam, di mana Wani dan La Dumai nekad kawin lari dan akhirnya terbunuh karena mencoba melawan budaya atau tradisi yang berlaku. Hal ini menandakan bahwa adanya ketidakkonsistenan aplikasi adat atau tradisi yang seharusnya dipertimbangkan oleh para leluhur adat, namun tidak sedikit keegoisan yang lebih besar dan rasa malu yang semakin membukit membuat adat selalu dipertahankan.
Kebudayaan perkawinan dan perjodohan yang sering sekali tidak dapat terlepas dari berbagai faktor, seperti dalam kedua drama tersebut yaitu faktor kasta sungguh sulit dihilangkan. Walaupun zaman semakin berkembang dan modernisasi semakin melaju yang disebut dengan kondisi dinamis. Namun tidak membuat semua hal itu membuat budaya yang diceritakan dalam kedua naskah drama tersebut juga bergerak dinamis seperti modernisasi, tetapi kebudayaan itu terus statis dipertahankan oleh para orang tua yang juga sebagai penggerak dan pewaris adat. Seperti orang tua Wani dalam drama Bulan Muda yang Terbenam, yaitu Amangkali, ayah Wani bagaimana ia bersih keras mempertahankan adat istiadat dan budayanya. Menentang keras hubungan anaknya Wani dengan La Domai karena ia merasa tidak pantas merangkul La Domai yang hanya orang biasa yang sungguh tidak sepadan dengannya. Ia lebih memilih laki-laki yang sepadan dengannya, walaupun harus mengorbankan dan melukai hati anaknya, Wani. Ia tidak peduli dengan cinta dan cinta. Amangkali hanya ingin tahu bahwa ia keturunan bangsawan dan Wani putrinya yang mengalir dalam darahnya darah bangsawan juga harus menikah dengan orang yang berhak dan pantas untuknya, yaitu laki-laki yang juga berasal dari golongan orang atas yang memilki kasta yang sederajat dengan Wani.
Begitupun dengan apa yang terjadi dalam drama Ningrat, bagaimana ayah Wd. Abe bersih keras melarang anaknya Wd. Abe menikah dengan La ege yang hanya orang biasa. Walaupun juga ia tahu konsekuensi dari perbuatannya itu yaitu bisa melukai hati anaknya dan bisa saja anaknya nekad melakukan hal yang bisa lebih memalukan jika dibandingkan dengan bila melangsungkan pernikahan dalam ranah beda kasta.
Jika kita melihat konsekuensi yang terjadi akibat adanya larangan-larangan atau batasan-batasan adat dan budaya yang dicanangkan orang tua terhadap anak-anaknya yang terjadi dalam kedua cerita dalam drama tersebut. Bukannlah hal yang lebih positif yang terjadi. Namun yang terjadi justru hal yang lebih mengerikan dan lebih ke hal negatif yang terjadi. Di mana kita lihat bahwa larangan atau batasan itu, atau tidak jarang ancaman-ancaman yang yang dilontarkan para orang tua tersebut, tidaklah merubah atau bahkan mengurungkan niat anak-anaknya untuk mengubah atau bahkan meninggalkan kekasih mereka yang jelas-jelas sudah ditentang oleh orang tua mereka. Karena rasa cinta yang terlanjur menyatu dan rasa ingin keluar dari tradisi dan batasan-batasan yang menurut mereka sudah tidak pantas lagi bagi mereka, membuat mereka semakin ingin lari dari semuanya. Mereka ingin menghancurkan benteng-benteng budaya yang hanya bisa mengecam hati dan jiwa mereka. Perbedaan kasta menurut mereka bukanlah hal yang logis dan menjadi jurang pemisah antara insan yang satu dengan insan yang lain, apalagi dalam hal perjodohan dan cinta suci. Manusia adalah makhluk ciptaan yang sama, manusia pasti ingin dilahirkan dalam kasta yang sama namun takdir kadang meletakkannya di tempat yang berbeda. Jadi perbedaan kasta adalah suatu kebudayaan yang seharusnya ditepis meski hal itu bisa menodai kodrat mereka dan menghasilkan dosa bagi dirinya, kepada orang tuanya, masyarakat, adat dan agamanya.
Kita melihat seperti apa yang dilakukan Wani dan Ladomai, juga yang dilakukan Wd. Abe dan La Ege yaitu tekanan-tekanan yang diberikan orang tua mereka yang mengakibatkan tekanan psikis membuat mereka semakin bingung dan kita lihat apa yang mereka lakukan untuk melawan semua tekanan itu, yaitu kawin lari. Kawin lari merupakan pilihan terakhir yang mereka harus tempuh demi untuk menyatukan tekad dan cinta mereka. Mereka sudah tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Meyakinkan orang tua yang hanya diisi dengan penjelasan-penjelasan perasaan tidak akan mampu menepis keegoisan orang tua mereka. Walaupun mereka sadar kawin lari adalah hal yang tabuh dan bisa saja mengorbankan nyawa mereka. Namun demi untuk melawan adat dan budaya itu hal tersebut harus berani mereka lakukan dan itu juga diwujudkan sebagai tanda betapa mereka saling mencinta dan betapa mereka tertekan oleh adat dan budaya itu. Namun terkadang apa yang mereka lakukan itu justru menambah masalah baru. Seperti apa yang diceritakan dalam drama Bulan Muda yang Terbenam. setelah diketahui Wani dan Ladomai kawin lari, semakin menambah amarah orang tua Wani yang dianggap bahwa hal itu adalah pelanggaran besar dalam keluarganya. Ia memerintahkan agar Ladomai dibunuh dan hingga Ladomai pun terbunuh dan tanpa Amangkali menyadari hal itu justru semakin melukai hati putrinya, hingga putrinya pun nekad bunuh diri untuk membuktikan bahwa betapa ia mencintai Ladomai dan mungkin saja hal itu dilakukannya untuk memperlihatkan dan menyadarkan ayahnya betapa tidak adilnya ayahnya kepadanya, betapa tidak adilnya adat dan budaya itu yang bisa saja memakan korban insan-insan yang sama sekali tidak tahu apa-apa. Bukankah hal ini adalah hal yang seharusnya dipikirkan kembali dan seharusnya menjadi pertimbangan balik terhadap adat dan budaya tersebut.
Jika kita memahami fonemena ini dan membandingkan dengan apa yang terjadi pada masyarakat kita. bahwa hal seperti ini tidak hanya terjadi pada masyarakat Cia-Cia atau masyarakat Buton. Tetapi hal yang sama juga terjadi pada etnik lain yang juga tidak kalah kental budayanya, yaitu masyarakat Bugis yang sampai sekarang budaya siri` masih terus dilestarikan. Bahkan masyarakat Bugis tidak hanya sebatas melihat pada perbedaaan kasta. Namun melihat pada berbagai aspek yaitu aspek etnik. Budaya siri` (malu) yang ditanamkan jika anak-anak atau keturunan mereka menikah dengan orang yang berasal dari etnik berbeda. Merupakan hal yang sangat tabuh dan hal yang sangat dilarang untuk dilakukan. Dengan melihat fonemena yang batas pergaulan semakin berkembang, bergaul bahkan merajuk cinta dengan laki-laki atau perempuan yang berbeda etnik sangat tidak bisa dipungkiri. Namun hal itu belum bisa menepis semua tradisi dan kebudayaan itu. Fakta sosial yang terjadi di kalangan remaja belum cukup menyadarkan para pewaris tradisi dan budaya yang terus saja berdiam pada apa yang diamininya.
Cerita yang dikisahkan dalam kedua drama tersebut sebenarnya merupakan cerminan tentang apa yang terjadi pada masyarakat kita. Tentang apa yang sampai sekarang masih dipertahankan. Walaupun hal seperti tersebut sekarang ini mencoba untuk ditepis oleh nsan-insan sekarang meskipun belum sepenuhnya tertepis. Seharusnya orang tua membuka mata bahwa persoalan kasta bukanlah hal yang perlu dilestarikan. Perbedaan kasta bukanlah hal yang pembeda antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Karena bisa saja orang yang berasal dari kasta atau golongan atas perlakuan atau sifat dan sikapnya tidak mencerminkan yang semestinya dimiliki oleh orang yang berkasta atas. Namun sebaliknya orang yang tidak berkasta atas sifat dan sikapnya lebih mulia daripada orang yang berkasta atas. Tindak kebaikan seseorang tidak diukur dari kasta atau gelar bangsawan yang ada pada dirinya. Tetapi bagaimana seseorang menghargai dan menempatkan dirinya sedemikian baik dan bagaimana ia berlaku dan bersikap baik dalam bergaul dalam lingkungan hidupnya. Persoalan kasta bukanlah hal yang menjadi pertimbangan besar bahkan menjadi penghalang seseorang untuk menyatukan cinta dalam suatu ikatan pernikahan. Persoalan kasta hanyalah persoalan derajat-derajat keturunan yang melekat pada orang-orang yang memang memegang teguh suatu prinsip dan keyakinan yang mampu menduduki derajat kasta itu dengan baik. Namun jika kita melihat fonemena yang terjadi sekarang seseorang yang berderajat atau orang yang membangga-banggakan kasta atau derajat yang mereka miliki tidak jarang tidak sesuai dengan perbuatan dan sikap atau tata krama yang mereka tampilkan dalam kehidupannya dalam lingkup pergaulan di masyarakat.
Simpulan dan Saran.
Simpulan
Berdasarkan pada penganalisisan pada pembahasan, maka diperoleh simpulan penganalisisan bahwa dalam drama Bulan Muda yang Terbenam karya La Ode Balawa dan Ningrat karya La Ode Sadia keduanya menceritakan fonemena sosial yang terjadi dalam masyarakat yang disorot dari segi budaya perkawinan yang masih sering terjadi dalam budaya masyarakat yang tidak hanya terjadi pada masrayakat Cia-Cia atau masyarakat Buton, tetapi juga terjadi pada budaya atau tradisi masyarakat lain, seperti masyarakat Bugis yaitu masih ditemukannya perjodohan-perjodohan dan pertentangan pernikahan akibat perbedaan kasta, yang tidak sedikit berakhir dengan kericuhan dan pertentangan besar antara kedua pihak.
Saran
Simpulan penganalisisan seperti yang telah dikemukakan tersebut menunjukkan bahwa fakta-fakta sosial yang disajikan dalam naskah drama seharusnya menyadarkan masyarakat yang masih mempertahankan tradisi perjodohan dan masih menganggap kasta adalah jurang pemisah apalagi dalam hal perjodohan dan pernikahan seseorang.

Daftar Pustaka
Djibran, Iwan. 2005. Antologi Drama Sulawesi Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara.
Hidayat, ahid. 2009. Kontrapropaganda dalam Drama Propaganda, Sejumlah Telaah. Kendari: FKIP Unhalu.
Wahid, Sugira. 2004. Kapita Selekta Kritik Sastra, cetakan kedua. Makassar: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Negeri Makassar (UNEM).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar