tag:blogger.com,1999:blog-56274392156515723312024-02-21T21:27:26.814-08:00Herna CuitcuitJurnal Bastrahttp://www.blogger.com/profile/13569373624882193527noreply@blogger.comBlogger12125tag:blogger.com,1999:blog-5627439215651572331.post-29247389909825334422011-12-22T22:36:00.000-08:002011-12-22T22:55:21.048-08:00PUISI-PUISIKU ^-^<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjuZEIFao2i8xo3vT_n5DU6InWHdtWzNSExUVuDHhp4dgiIu1jCfNCClTRoVOd4xoEAz7vCmaBuj1QfgncACga8sDpS3U_u4AE2Sj1Cu8UBiaDqgEtsPc6BE6cDCf8dNm0WqawJ5L2taI4/s1600/il5.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjuZEIFao2i8xo3vT_n5DU6InWHdtWzNSExUVuDHhp4dgiIu1jCfNCClTRoVOd4xoEAz7vCmaBuj1QfgncACga8sDpS3U_u4AE2Sj1Cu8UBiaDqgEtsPc6BE6cDCf8dNm0WqawJ5L2taI4/s1600/il5.jpg" /></a><b>Kepompong Laut</b><br />
Kulihat tubuhnya basah<br />
Tersisir gelombang barat yang semakin menggemuruh<br />
Membauri tubuhmu lesuh.<br />
Menggelimuti jiwamu yang selalu kukuh.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Semakin gagah kau mendayung dan mendayung<br />
Membawa pancing rawit yang penuh dengan umpan<br />
Berbekal kopi pekat dan nasi putih <br />
Kau bergerak kukuh dan penuh harapan<br />
<br />
<br />
Kau lewati angin yang mendesir kencang<br />
Menuju lautan lepas yang menantang<br />
Kau lewati gelombang yang seakan terbang<br />
Menuju lautan yang semakin gersang<br />
<br />
Kepompong laut, itulah gelarmu.<br />
Demi menyuapi mulut istri dan anakmu <br />
Kau lewati tantangan itu setiap hari beradu<br />
Tanpa gentar dan jiwa yang merdu<br />
Kau terus berharap ketika malam berlalu<br />
Dan umpan rawitmu pun termakan ikan yang terpacu<br />
<br />
Senyummu pun mekar <br />
Melihat umpan rawit termakan ikan karapu dan sunu <br />
<br />
Kau pun berbalik mendayung sampangmu menuju daratan penantian <br />
Tak sabar menyaksikan senyuman indah di balik bibir istri dan anakmu<br />
Menyaksikan dirimu membawa ikan karapu dan sunu<br />
Menyisitkan kelelahanmu yang tak pernah membeku.<br />
<br />
Kendari, 29 April 2010<br />
<br />
<b>Cucu Kotaku</b><br />
<br />
Dari sudut mata memandang<br />
Menyaksikan cucu kota yang mulai binar<br />
Disambut matahari yang mulai segar<br />
<br />
Raga dan jiwaku pun mulai bereaktivitas<br />
Merancang rasa menjadi sulaman fonem<br />
Merangkai bunga kata menjadi cerita<br />
Guna melukiskan cucu kota yang mulai merembes<br />
<br />
Ya inilah sebuah cucu kota, cucu kota Bombana<br />
Yang dinobatkan dengan nama Puulemo<br />
cucu kota, di mana mata ibuku dan mataku pertama berpadu<br />
Cucu kota , di mana zat-zat dunia mulai masuk dalam tubuhku<br />
Cucu kota yang seakan terabaikan oleh manik-manik mata ibu kota<br />
Cucu kota yang mampu menyiapkan sari pati kehidupan bagiku dan keluargaku<br />
<br />
Jikalah hari mulai kekar, meyinari cucu kota ini<br />
Manik-manik mata pun mulai segar<br />
Menyaksikan hari yang masih lembab<br />
Menyaksikan cakrawala biru yang dikhiasi kupu-kupu laut di atas ombak suci<br />
Menyimaki gemuruh ombak, katinting, dan desiran insani menanti kupu-kupu laut membawa sari-sari bunga laut.<br />
Sari-sari bunga laut yang mampu menyuapi ratusan insani di cucu kota ini<br />
<br />
Jikalah hari mulai lelah<br />
Manik-manik mata pun mulai menguning<br />
Menyaksikan matahari yang telah lumpuh , misau kuningnya yang garang tergelimpang di lautan<br />
Meredupi suara suara insani yang semakin terkalahkan oleh gonggongan anjing dan siulan burung hantu<br />
<br />
Para insani pun berlomba-lomba memasuki gubuk kehidupannya.<br />
Merenggut kembali keluarganya yang sempat terpisah oleh desiran hidup<br />
Gubuk-gubuk kehidupan pun mulai bersembunyi<br />
Di balik malam yang semakin meredup <br />
Diterangi oleh neon kecil yang tak berion.<br />
Cucu kota pun tersulap menjadi kebun kunang-kunang<br />
<br />
Di antara gubuk-gubuk kehidupan itu tersimak siulan indah <br />
Siulanlan gadis dan keluarganya yang sedang bercerita dan bercanda <br />
Melepaskan kelelapan, menanti hari yang kekar esok hari.<br />
<br />
Kendari, 5 Mei 2010<br />
<br />
<b>Lombok Merah</b><br />
Kumekarkan merahmu di tengah belati kecil<br />
Memastikanmu diam dalam ramping tubuhmu<br />
Melototkan mata bersama teman-temanmu <br />
Hingga akhirnya kau membiarkan dirimu terulek oleh jari-jari ganas <br />
Di atas ulekan, wajan, meja makan kau selalu tersenyum<br />
Dan bahkan ketika mulut-mulut murka menghampirimu<br />
Kau terus saja tersenyum dengan merahmu.<br />
Membiarkan dirimu dilumat lidah <br />
Untuk mengenalkan bahwa kaulah simerah <br />
Yang tak bisa lepas dari seribu rasa kerakusan manusia.<br />
<br />
Kendari, 28 Mei 2010<br />
<br />
<b>Dara Matasia</b><br />
<br />
Dara Matasia<br />
Kini hanya bisa mendengkur pada luka waktu<br />
<br />
Barangkali dia lelah pada tempatnya<br />
Demi tanggung-jawab sebagai perempuan Bugis yang bersenggama di hembus nafasnya<br />
<br />
Rambut suri yang terawat abad<br />
Dan terpotong adat<br />
Membuatnya terusik nista<br />
<br />
Jerit yang panjang <br />
Dari sunyi hutan<br />
Menanggung nasib <br />
Sebelum ajal tiba<br />
<br />
Membiarkan waktu <br />
Melalui nasibnya<br />
Membiarkan ilalang<br />
Tumbuh dengan suburnya <br />
<br />
Tapi katakan, apa sebenarnya<br />
Yang telah kau lakukan Dara Matasia ?<br />
Membiarkan bintangmu bersembunyi, <br />
Membiarkan mimpimu tiada arti,<br />
Atau membiarkan kesedihan tumbuh di namamu. Dara Matasia<br />
<br />
Maka kau pun berbisik, “maka jika esok aku mati,<br />
Dengan nama yang masih terluka,<br />
Kuharap kalian tahu dengan kegilaan ini”.<br />
<br />
Kendari , 29 Mei 2010.<br />
<br />
<b>Cahaya Indah</b><br />
<br />
Gemercik air hujan menyatukan tatapan ini<br />
Dingin angin hujan mendesirkan rasa yang misteri<br />
Sesosok Adam telah kutemui di sudut ini<br />
Menyaksikannya dengan nafas yang sedikit terhenti<br />
Kutemui cahaya indah dalam dirinya<br />
Menyinarkan sejuta rasa dalam sukmaku<br />
Menumbuhkan aza yang hampir layu<br />
Cahaya indahnya terus bersinar<br />
walau waktu semakin jenuh.<br />
Namun hati siapa tahu<br />
Kalau dia tak akan jenuh seperti waktu<br />
Memupuk mimpi bersama aza <br />
Merajuk khayal menjadi nyata.<br />
<br />
Kendari, 10 Juni 2010.Jurnal Bastrahttp://www.blogger.com/profile/13569373624882193527noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5627439215651572331.post-84858926600303609622011-12-22T22:24:00.000-08:002011-12-22T22:52:10.351-08:00RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjBmmfsYmmoXXQsfRFLUzpDqJ2od5-taPn-PoJxE78viAfU3EyYAz4KqpRoSHHsaIh5tDR976UGcHkhunQMvJkTBDZGTOBvlRkhUcG5ngP1xD9MvuUWknvZ0sI1Vr3QGb9d8vt5TnhnBwM/s1600/pn6.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjBmmfsYmmoXXQsfRFLUzpDqJ2od5-taPn-PoJxE78viAfU3EyYAz4KqpRoSHHsaIh5tDR976UGcHkhunQMvJkTBDZGTOBvlRkhUcG5ngP1xD9MvuUWknvZ0sI1Vr3QGb9d8vt5TnhnBwM/s1600/pn6.jpg" /></a>Nama Sekolah : SMP<br />
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia<br />
Kelas : VII<br />
Semester : I<br />
Alokasi Waktu : 2 x 35 menit (1 x pertemuan )<br />
<br />
<br />
<b>A</b>. <b>STANDAR KOMPETENSI</b><br />
7. Membaca : Memahami isi berbagai teks bacaan sastra dengan membaca.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
<b>B. KOMPETENSI DASAR</b><br />
7.1 Menceritakan kembali cerita anak yang dibaca.<br />
<br />
<b>C. INDIKATOR</b><br />
1. Mampu menentukan pokok-pokok cerita anak yang dibaca.<br />
2. Mampu merangkai pokok-pokok cerita anak menjadi urutan cerita.<br />
3. Mampu menceritakan kembali dengan bahasa sendiri secara tertulis.<br />
<br />
<b>D. TUJUAN PEMBELAJARAN</b><br />
1. Siswa dapat menentukan pokok-pokok cerita anak yang dibaca.<br />
2. Siswa dapat merangkai pokok-pokok cerita anak yang dibaca menjadi urutan cerita.<br />
3. Siswa dapat menceritakan kembali cerita anak yng dibaca dengan menggunakan bahasa sendiri secara tertulis.<br />
<br />
<b>E. MATERI PEMBELAJARAN</b><br />
Bercerita dengan urutan yang baik dan tepat :<br />
1. Menyampaikan Cerita.<br />
2. Menentukan Pokok-pokok Cerita yang Dibaca.<br />
3. Menentukan Bagian-bagian Cerita yang Dibaca.<br />
4. Menyusun Cerita Berdasarkan Pokok-pokok Cerita dan Bagian-bagian Cerita yang Dibaca.<br />
5. Bercerita dengan Urutan yang Baik dan Tepat.<br />
<br />
<b>F. MODEL DAN METODE PEMBELAJARAN</b><br />
1. Pendekatan : Pembelajaran Konstektual<br />
2. Model Pembelajaran : Kooperatif Tipe STAD<br />
3. Metode : tanya jawab, pemodelan, diskusi, penugasan , dan unjuk kerja.<br />
<br />
<br />
<b>G. MEDIA DAN SUMBER BELAJAR</b><br />
1. Naskah Cerita.<br />
2. Lembar Kerja Siswa (LKS)<br />
3. Kertas kosong : kertas kuarto.<br />
<br />
<b>H. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN</b><br />
<br />
1. Kegiatan Awal (15 menit) :<br />
Tahap 1 (5 menit) : pemancingan dengan mula-mula menanyakan kesiapan belajar siswa, lalu menanyakan pengetahuan dan pengalaman siswa tentang sebuah cerita anak, baik itu dalam berbentuk cerpen, dan lain sebagainya.<br />
Tahap 2 (10 menit) : pengarahan dengan mula-mula bertanya jawab tentang bagaimana menentukan pokok-pokok sebuah cerita, bagaimana merangkai pokok-pokok cerita menjadi urutan cerita yang runtut, serta bagaimana menceritakan kembali cerita yang telah dibaca dengan menggunakan bahasa sendiri, dengan penggunaan bahasa yang padu.<br />
<br />
2. Kegiatan Inti (45 Menit) :<br />
Siswa dibagi dalam beberapa kelompok kecil (maksimal 5 orang dalam 1 per kelompok). Guru membagikan kepada setiap siswa naskah cerita anak, serta lembaran soal. Masing-masing kelompok ditugaskan membaca cerita anak untuk menentukan pokok-pokok cerita. Kemudian siswa merangkai pokok-pokok cerita menjadi urutan cerita, lalu menceritakan kembali dengan bahasa sendiri, secara tertulis. Dalam kegiatan ini, setiap siswa diminta untuk aktif dan bekerja sama dalam kelompok. Setelah itu siswa diminta untuk mengumpul lembar kerja.<br />
<br />
3. Kegiatan Akhir (10 menit)<br />
Siswa bersama guru merumuskan kesimpulan umum atas semua pembelajaran yang telah dilaksanakan, setelah itu setiap siswa diminta (jika ada) untuk memberikan kesan dan saran terhadap proses pembelajaran yang baru saja mereka ikuti.<br />
<br />
<br />
I. SUMBER PEMBELAJARAN<br />
1. Buku Kumpulan Cerita Pendek.<br />
2. Lembar Pegangan Guru.<br />
3. Buku Siswa.<br />
4. Silabus.<br />
<br />
<b>J. PENILAIAN</b><br />
<br />
1. Teknik : Penugasan, unjuk kerja.<br />
2. Bentuk Instrumen : Tugas proyek dan uji petik produk<br />
3. Soal Instrumen : <br />
<br />
1. Tentukan pokok-pokok cerita anak yang kamu baca !<br />
Pedoman Penskoran :<br />
Kegiatan Skor<br />
Siswa menentukan 3 pokok cerita atau lebih. 2<br />
Siswa menentukan 1-2 pokok cerita 1<br />
Siswa tidak menuliskan apa-apa 0<br />
<br />
2. Rangkaikan pokok-pokok cerita itu menjadi urutan cerita yang runtut!<br />
Pedoman Penskoran :<br />
Kegiatan Skor<br />
Siswa merangkaikan cerita menjadi urutan cerita secara kronologis dan runtut. 2<br />
Siswa merangkaikan cerita menjadi urutan cerita yang kurang runtut 1<br />
Siswa tidak dapat merangkaikan urutan cerita 0<br />
<br />
<br />
Kendari, 17 Pebruari 2011<br />
<br />
<br />
Mengetahui,<br />
<br />
<br />
<br />
Guru Pamong Mahasiswa PPLJurnal Bastrahttp://www.blogger.com/profile/13569373624882193527noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5627439215651572331.post-43078464217461529582011-12-22T22:12:00.000-08:002011-12-22T23:05:42.596-08:00Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8d28qEHZhXoYd2FtNdob2-8fnwdURhhhVqQOR0v_WPijnMqu17k4meyc8XP_fAGKZhtspX2RndjHS7fRgei9Cp24FVLH-CARJycxpZ8KwBRLXwLz9c3XZtVVg1dOZTNJ288FHKSAu6fE/s1600/bhs2.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8d28qEHZhXoYd2FtNdob2-8fnwdURhhhVqQOR0v_WPijnMqu17k4meyc8XP_fAGKZhtspX2RndjHS7fRgei9Cp24FVLH-CARJycxpZ8KwBRLXwLz9c3XZtVVg1dOZTNJ288FHKSAu6fE/s1600/bhs2.jpg" /></a><b>A. Latar Belakang</b><br />
Pembinaan dan pengembangan bahasa merupakan usaha dan kegiatan yang dilakukan untuk memelihara dan mengembangkan bahasa Indonesia., bahasa daerah, pengajaran bahasa asing supaya dapat memenuhi fungsi dan kedudukannya.<br />
<a name='more'></a><br />
Kedudukan bahasa Indonesia kini semakin mantap sebagai wahana komunikasi, baik dalam hubungan sosial maupun dalam hubungan formal. Bahasa Indonesia merupakan alat pertama dan utama untuk membangun arus pemikiran yang jelas dan teliti. Jadi bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Bahasa Indonesia merupakan alat pertama, alat utama, dan alat pokok fundamental dalam proses pendidikan. Begitupun halnya dengan bahasa daerah dan bahasa asing yang juga digunakan sebagai wahana komunikasi dan memiliki fungsi dan kedudukan masing-masing. <br />
Jadi, pembinaan dan pengembangan bahasa tidak hanya berfokus pada lingkup bahasa Indonesia, namun juga mencakup bahasa daerah dan juga bahasa asing.<br />
<br />
<b>B</b>. <b>Rumusan Masalah</b><br />
Berdasarkan pemahaman yang telah dipaparkan tersebut, maka beberapa rumusan masalah yang berkaitan dengan pembinaan dan pengembangan bahasa, yaitu :<br />
1. Apa hakikat pembinaan dan pengembangan Bahasa Indonesia ?<br />
2. Bagaimana pembinaan sikap berbahasa Indonesia ?<br />
3. Bagaimana sikap positif terhadap Bahasa Indonesia ?<br />
4. Bagaiamana upaya meningkatkan kegairahan penggunaan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar ?<br />
5. Bagaimana peran serta kita dalam meningkatkan mutu dan disiplin penggunaan dan penguasaan Bahasa Indonesia ?<br />
<b>C. Tujuan dan Manfaat Penulisan</b><br />
Adapun tujuan penulisan makalah ini, yaitu :<br />
1. Untuk memahami hakikat pembinaan dan pengembangan Bahasa Indonesia.<br />
2. Untuk memahami pembinaan sikap berbahasa Indonesia.<br />
3. Untuk memahami sikap positif terhadap bahasa Indonesia.<br />
4. Untuk memahami upaya meningkatkan kegairahan penggunaan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar.<br />
5. Untuk memahami bagaimana meningkatkan mutu dan disiplin penggunaan dan penguasaan Bahasa Indonesia.<br />
<br />
<b>PEMBAHASAN</b><br />
<br />
<b>A</b>.<b> Hakikat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia</b><br />
Hasil perumusan bahasa Seminar Politik Bahasa Nasional (1975) telah disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa adalah usaha dan kegiatan yang ditujukan untuk memelihara dan mengembangkan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan pengajaran bahasa asing supaya dapat memenuhi fungsi dan kedudukannya.<br />
Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dilakukan meliputi usaha-usaha pembakuan agar tercapai pemakaina bahasa yang cermat, tetap dan efesien dalam komunikasi. Untuk kepentingan praktis, telah diambil sikap bahwa pembinaan terutama ditujukan kepada penuturnya, yaitu masyarakat pemakai bahasa Indonesia, dan pengembangan terutama ditujukan kepada bahasa dalam segala aspeknya.<br />
Pembinaan dan pengembangan mencakup dua arah yaitu pengembangan bahasa mencakup dua masalah pokok (masalah bahasa dan kemampuan/sikap) dan pembinaan juga mencakup dua arah (masyarakat luas dan generasi muda).<br />
<b>B. Pembinaan Sikap Berbahasa Indonesia</b><br />
Masyarakat Indonesia dianjurkan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai dengan lingkungan dan keadaan yang dihadapi benar sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.hal itu, tentu saja tidak terlepas dari tujuan pembinaan bahasa gIndonesia, yaitu :<br />
1. Menumbuhkan dan membina sikap bahaasa yang positif.<br />
2. Meningkatkan kegairahan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.<br />
3. Peningkatan mutu serta disiplin penguasaan bahasa Indonesia dalam segenap lapisan masyarakat.<br />
<br />
<b>C. Sikap Positif terhadap Bahasa Indonesia</b><br />
Sikap kesetiaan berbahasa Indonesia berungkap jika kita lebih suka memakai bahasa Indonesia dan menjaga agar pengaruh asing tidak berlebihan. Sikap kebanggaan berbahasa terungkap jika kita terdapat perasaan bahwa bahasa Indonesia dapat mengungkapkan konsep yang rumit secara cermat dan dapat mengungkapkan isi hati yang sehalus-halusnya. Hal ini, perlu ditegaskan karena dikalangan masyarakat berbagai sikap terhadap kemampuan berbahasa Indonesia, antara lain sebagai berikut :<br />
1. Sikap menyangsikan kemampuan bahasa Indonesia mendukung dan mengembangkan ilmu pengatahuan.<br />
2. Sikap mempercayai sepenuhnya kemampuan bahasa Indonesia mendukung dan pengembangan ilmu pengetahuan.<br />
Sikap positif bahasa Indonesia tidak berarti sikap kebahasaan yang kaku dan tertutup dan menuntut kemurnian bahasa Indonesia dan yang menutup bahasa Indonesia dari hubungan saling pengaurh dengan bahasa lain yaitu bahasa daerah dan bahasa asing di Indonesia terhadap kurang lebih 400 bahasa daerah.<br />
<br />
<b>D.</b> <b>Upaya Meningkatkan Kegairahan Penggunaan Bahasa Indonesia dengan Baik dan Benar</b><br />
Pengguanaan bahasa yang baik dan benar adalah penggunaan yang disesuaikan dengan lingkungan dan pemakaian bahasa, diperoleh ragam bahasa, baik lisan maupun tulis. Penggunaan bahasa Indonesia dengan baik adalah pengguanaan ragam-ragam bahasa Indonesia sesuai dengan keadaan atau lingkunagn komunikasi.<br />
Penggunaan bahasa Indonesia dengan benar adalah penggunaan yang disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam ragam tulis, kaidah itu tertera pada buku :<br />
1. Pedoman Umum EYD.<br />
2. Pedoamn Umum Pembentukan Istilah.<br />
3. Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia.<br />
<b>E. Peran Serta Kita dalam Meningkatkan Mutu dan Disiplin Pengunaan dan Penguasaan Bahasa Indonesia</b><br />
Sebagai masyarakat Indonesia kita dituntut berperan serta dalam meningkatkan mutu dan disiplin penggunaan serta penguasaan bahasa Indonesia. Hal ini perlu dilaksanakan agar penggunaan bahasa Indonesia sesuai dengan perkembangannya. <br />
Upaya peningkatan mutu dan disiplin penggunaan bahasa Indonesia harus merupakan kegiatan yang berkesinambungan, baik pada tingkat perorangan maupun pada tingkat kemasyarakatan. Kita sebagai Pembina bahasa Indonesia hendaknya ikut bereran dalam mencapai tujuan pembinaan bahasa Indonesia. Kita sebagai bahasa Indonesia senantiasa menjaga, memelihara, dan mengembangkan agar masyarakat atau generasi ke depannya tetap bisa menggunakana bahasa Indonesia yang baik dan benar.<br />
<br />
<b>PENUTUP</b><br />
<b>A. Simpulan</b><br />
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan pada pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa adalah cara atau kegiatan pemeliharaan dan pengembangan bahasa. Dalam pembinaan dan pengembangan bahasa erat kaitannya dengan pembinaan sikap Berbahasa Indonesia, sikap positif terhadap Bahasa Indonesia, upaya meningkatkan kegairahan penggunaan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, serta memahami bagaimana meningkatkan mutu dan disiplin penggunaan dan penguasaan Bahasa Indonesia.u<br />
B. Saran. <br />
Sebagai masyarakat Indonesia yang memiliki bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia, maka sudah selayaknya kita senantiasa tetap memelihara bahasa nasional kita, yaitu bahasa Indonesia dengan berusaha menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Balawa, La Ode. 2010. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kendari : FKIP Unhalu.<br />
Suhender, M.E. 1997. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Jakarta : Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.<br />
Kosasih, E. 2003. Ketatabahasaan dan Kessusastraan. Bandung : CV Yrama Widya.Jurnal Bastrahttp://www.blogger.com/profile/13569373624882193527noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5627439215651572331.post-2578886714018557332011-12-22T22:09:00.000-08:002011-12-22T23:15:44.284-08:00Pengaruh Globalisasi terhadap Bahasa dan Sastra Daerah<div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiWIZMcG_tHrv7nm8khDGfH8EjO_HSFePVLlboVneiICL6z1eMw2TuyjRpM5_jnuXimSZ1opQrx5sLDrvIILQpVkLknkcNRvPpvJHZnkPQJ8QG8SO5Nt9vRLmESOfH7HBhfwPQO-W5XCPg/s1600/imp9.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiWIZMcG_tHrv7nm8khDGfH8EjO_HSFePVLlboVneiICL6z1eMw2TuyjRpM5_jnuXimSZ1opQrx5sLDrvIILQpVkLknkcNRvPpvJHZnkPQJ8QG8SO5Nt9vRLmESOfH7HBhfwPQO-W5XCPg/s1600/imp9.jpg" /></a>Sastra daerah baik lisan maupun tulisan merupakan kekayaan budaya daerah yang kelestariannya ditentukan oleh pendukung budaya daerah yang bersangkutan. Sastra daerah menyimpan nilai-nilai kedaerahan dan akan memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi perkembangan sastra di daerah dan Indonesia pada umumnya.<br />
<a name='more'></a> Dengan sastra daerah, kita dapat mengetahui asal-usul suatu daerah dengan berbagai kearifan yang dicurahkan lewat berbagai mitos, legenda, dongeng, dan riwayat termasuk di dalamnya permainan rakyat dan nyanyian lokal.<br />
<br />
Masalah yang ada saat ini adalah kurangnya perhatian masyarakat terhadap sastra daerah. Sastra daerah telah berada di ambang kepunahan karena hanya segelintir orang yang punya kepedulian terhadapnya. Perlu kita ketahui, bahwa tanpa adanya dukungan dari masyarakat, sastra daerah akan hilang tanpa bekas dan masyarakat akan kehilangan identitas budaya. Budaya luar yang dengan mudah diperoleh dari media cetak maupun elektronik juga sangat mempengaruhi perkembangan sastra daerah.<br />
Seluruh suku bangsa di Indonesia saat ini merasa bahwa hidup matinya sastra daerah menjadi tanggung jawab masing-masing daerah. Padahal sesungguhnya perkembangan sastra daerah menjadi tanggung jawab nasional yang harus dihadapi secara nasional pula. Begitu pula dengan para penggiat sastra daerah, mereka praktis melakukan kegiatan-kegiatan sastra secara individu dan swadaya, sehingga gaungnya hanya terasa dalam ruang lingkup yang tidak terlalu luas. <br />
Berbicara mengenai sastra daerah, tentunya kita tidak dapat terlepas dari bahasa yang menjadi akar dari sastra daerah itu sendiri. Selain itu., bahasa juga menjadi simbol suatu peradaban bangsa. Kematian sastra daerah, yang di dalamnya terdapat bahasa, mengakibatkan hilangnya suatu kebudayaan dan musnahnya suatu peradaban.<br />
<br />
Bahasa dan sastra daerah merupakan salah satu unsur kebudayaan nasional yang dilindungi oleh Negara dan dijamin dengan undang-undang. Bahasa dan sastra daerah sebagai salah satu bagian kebudayaan daerah berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya yang di dalamnya terekam antara lain pengalaman estetik, religius, atau sosial politik masyarakat etnis yang bersangkutan. Bahasa dan sastra daerah adalah aset besar yang dimiliki sebuah bangsa.<br />
Adanya perkembangan teknologi dan arus globalisasi yang sangat cepat membawa dampak bagi bahasa dan sastra daerah. Perkembangan tersebut membawa pengaruh asing yang mempengaruhi berbagai sendi kehidupan yang pada akhirnya juga membawa pada perubahan perilaku masyarakat dalam bertindak dan berbahasa.<br />
Adanya arus globalisasi memberi dampak pada perkembangan bahasa dan sastra daerah. Masuknya bahasa asing utamanya bahasa Inggris pada setiap sendi kehidupan masyarakat menyebabkan pola pikir masyarakat tertuju pada bagaimana agar bisa menguasai bahasa tersebut sehingga pembelajaran terhadap bahasa dan sastra daerah dianggap tidak perlu. Memang menguasai bahasa asing, utamanya bahasa Inggris merupakan hal yang penting. Namun dengan begitu bukan berarti bahasa daerah harus dikesampingkan dan mengutamakan bahasa asing. Diperlukan pemahaman yang lebih arif dalam penguasaan bahasa. Di dalam sebuah bahasa dan sastra daerah terdapat banyak pengetahuan, nilai-nilai budaya suatu daerah dan merupakan sumber sejarah yang dapat diangkat dan disebarluaskan kepada etnik lain melalui bahasa pemersatu yaitu bahasa Indonesia dan dapat pula diangkat ke kanca internasional apabila kita mengetahui bahasa asing. <br />
Puncak kebudayaan daerah adalah kebudayaan nasional. Jika diibaratkan kebudayaan nasional adalah sebuah puncak yang untuk mencapainya diperlukan rangkaian anak tangga yang saling terjalin sehingga memudahkan untuk mencapai puncak. Rangkain anak tangga tersebut adalah bahasa-bahasa daerah. Untuk tetap bisa melestarikan bahasa daerah diperlukan kerja sama dari berbagai pihak. Utamanya masyarakat itu sendiri, pemerintah dan pengelola pendidikan. <br />
Agar sebuah bahasa tetap ada diperlukan orang yang menuturkannya, dalam hal ini adalah generasi muda. Maka dari itu, diperlukan peran serta pengelolah pendidikan khususnya guru untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang bahasa dan sastra daerah serta motivasi kepada generasi mudah untuk memupuk minat sejak dini sehingga tetap memakai dan tidak meninggalkan bahasa daerahnya. Untuk menciptakan guru yang berkompeten dalam bidang tersebut diperlukan partisipasi pemerintah. Dalam hal ini pemerintah menjadi fasilitator bagi tenaga pendidik untuk mendapatkan dan menimbah ilmu lebih dalam, khusus pada bidang bahasa dan sastra daerah.<br />
Mungkin timbul pertanyaan, untuk apa bahasa dan sastra daerah perlu dilestarikan agar tidak punah ? jawabannya adalah karena di dalam sebuah adat istiadat, cerita rakyat dan bahasa daerah mungkin terpendam, suatu rahasia yang belum tersingkap, jika diibaratkan di dalam bahasa dan sastra daerah terpendam tambang emas yang belum digali dan belum terjamah oleh manusia. Sehingga perlu tetap dijaga dan dilestarikan.<br />
Nusantara kita adalah sebuah wilayah yang di dalamnya memliki begitu banyak potensi. Tinggal bagaimana kita sebagai masyarakatnya menggali, mengembangkan dan melestarikannya secara arif dan bijaksana. Termasuk juga bahasa dan sastra daerah, perlu dukungan dan partisipasi dari semua pihak. <br />
Agar bahasa dan sastra daerah dapat berkembang dan mampu melawan arus perkembangan zaman, salah satu kiat yang dapat dilakukan adalah dengan pembinaan dan pengembangan terhadap kebudayaan lokal dan sastra daerah itu sendiri. <br />
Pemberdayaan sastra daerah ditujukan kepada pemantapan, kedudukan dan fungsi sastra dalam kehidupan masyarakat. Dengan semakin mantapnya kedudukan dan fungsi sastra dalam masyarakat diharapkan karya sastra yang bermutu dan sarat akan makna kebudayaan akan lahir di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Pengembangan sastra dilakukan denga mengupayakan peningkatan terhadap mutu sastra agar dapat dimanfaatkan sebagai media ekspresi, pencerminan dan pencarian jati diri untuk membangun kebudayaan baru, dan sebagai sarana peningkatan kepedulian terhadap kehidupan masyarakat upaya pengembangan sastra tersebut dapat dilakukan melalui pemeliharaan karya sastra. Pemeliharaan karya sastra adalah upaya yang dilakukan agar generasi baru Indonesia dapat memahami dan menghayati karya sastra terutama pesan yang terkandung di dalamnya. Pelestarian sastra lama adalah salah satu upaya pemeliharaan sastra. Pemahaman terhadap karya sastra akan lebih mudah dicapai jika suatu generasi mengalami kehidupan karya sastra itu sendiri. Oleh karena itu, pemeliharaan karya sastra dapat dilakukan melalui pemeliharaan tradisi bersastra di masyarakat, seperti sastra lisan, pembacaan naskah lama, serta penuturan dongeng.<br />
Dalam rangka upaya mengembangkan kebudayaan bangsa yang berkepribadian dan berkesadaran nasional, perlu ditumbuhkan kemampuan masyarakat untuk mengangkat nilai-nilai sosial budaya daerah yang luhur serta menyerap nilai-nilai dari luar yang positif dan yang diperlukan bagi pembaruan dalam proses pembangunan bangsa. Bahasa dan sastra daerah perlu terus dibina dan dilestarikan dalam rangka mengembangkan identitas keindonesiaan kita.<br />
Salah satu cara untuk memperkenalkan nilai-nilai luhur bangsa adalah dengan memperkenalkan budaya lokal kepada para generasi muda. Nilai-nilai budaya lokal ini adalah jiwa dari kebudayaan local dan menjadi dasar bagi segenap wujud kebudayaan di daerahnya. Memperkenalkan cerita rakyat dalam bentuk mendongeng sebelum tidur misalnya merupakan budaya bangsa kita dahulu, yang pada masa kinisudah mulai luntur seiring berkembangnya zaman. Cerita merupakan salah satu sarana penting untuk mempertahankan eksistensi diri. Cerita tidak hanya digunakan untuk memahami dunia dan mengekspresikan gagasan, ide-ide, dan nilai-nila, melainkan juga sebagai sarana penting untuk memahamkan dunia kepada orang lain, menyimpan, mewariskan gagasan dan nilai-nilai tersebut dari generasi ke generasi berikutnya. Budaya local yang beraneka ragam merupakan warisan budaya yang wajib dilestarikan. Ketika bangsa lain yang hanya sedikit mempunyai warisan budaya local berusaha keras untuk melestarikannya demi sebuah identitas, maka sungguh naïf jika yang memiliki banyak warisan budaya local lantas mengabaikan pelestariannya. Beberapa hal yang termasuk budaya local misalnya cerita (dongeng) rakyat, ritual kedaerahan, tradisi kedaerahan, kreativitas (tari, lagu, drama, dan lain-lain), dan keunikan masyarakat setempat.<br />
Harus kita sadari bahwa arus deras globalisasi tidak dapat kita hindari, tetapi hal tersebut dapat kita minimalisir. Globalisasi yang tidak terhindarkan harus diantisipasi dengan penguatan jati diri dan kearifan local yang dijadikan sebagai dasar pijakan dalam penyusunan strategi dalam pelestarian dan pengembangan sastra dan bahasa daerah. Upaya memperkuat jati diri daerah dapat dilakukan melalui penanaman budaya-budaya lokal dalam pembelajaran bahasa dan sastra daerah di lingkungan formal, informal maupun nonformal.<br />
Bahasa dan sastra daerah merupakan lambang identitas dan lambang jati diri setiap bangsa, setiap etnik dan setiap masyarakat. Perlu dijaga, dilestarikan dan dikembangkan dan agar tidak punah. Karena apabila sebuah bahasa dan sastra daerah punah maka adalah sebuah kerugian besar. Untuk itu adanya perhatian dan partisipasi dari berbagai pihak akan sangat mendukung tercapainya usaha untuk tetap melestarikan bahasa dan sastra daerah.</div>Jurnal Bastrahttp://www.blogger.com/profile/13569373624882193527noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5627439215651572331.post-54481935154035613812011-12-19T22:39:00.000-08:002011-12-22T23:00:53.251-08:00MENGGALI NILAI-NILAI BUDAYA DALAM SIRI` NA PESSE<div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4VVTMx5_CG9-mxEpQZAbgmHEMimut8WpB9QLcX7d9j41iJROGtcbykmltgbirhiKPfRYGYmAfDUzjfgm2HHSq1Ns0E_JD2Ua7ayQcfxwaus7FyomqVSvrtFOE-v-LbnIUaAOPvdB2TcM/s1600/il4.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4VVTMx5_CG9-mxEpQZAbgmHEMimut8WpB9QLcX7d9j41iJROGtcbykmltgbirhiKPfRYGYmAfDUzjfgm2HHSq1Ns0E_JD2Ua7ayQcfxwaus7FyomqVSvrtFOE-v-LbnIUaAOPvdB2TcM/s1600/il4.jpg" /></a>Judul : The Secret of Siri` Na Pesse.<br />
Penulis : Mustari Idris Mannahao.<br />
Penerbit : Pustaka Refleksi.<br />
Cetakan : 1, 2010<br />
Halaman : 195 halaman.<br />
<br />
Memahami tentang kultur budaya untuk masa sekarang ini, seringkali dan bahkan sudah terabaikan. Apalagi ketika kita berada dalam kondisi yang membuat kita terpisahkan dan terasingkan jauh dari tempat di mana seharusnya kita menanamkan dan memahami budaya tersebut.<br />
<a name='more'></a> Tetapi kita harus konsisten bahwa untuk memahami dan menafsirkan sesuatu tidak selalu menuntut kita untuk ada dan dekat dengan sesuatu tersebut, namun dengan kesadaran dan pemahaman untuk bisa selalu berusaha memahami hal itu akan membawa kita merasa hidup dan dekat dengan sesuatu tersebut, sehingga bisa menghasilkan multi tafsir yang akan memberi pemahaman dan kesadaran dalam diri kita untuk merealisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Begitupun halnya dengan budaya. Untuk memaham budaya, bukan berarti kita harus hidup di mana asal-muasal budaya itu ada, namun di manapun kita berada, karena budaya tertanam dalam diri kita sejak kita terlahir. Jika kecintaan kita yang sudah ditanamkan dalam diri akan selalu menemani di manapun kita berada dan hidup.</div><br />
Budaya sebagai sesuatu yang sakral dan harus dipelihara, menjadikan sebuah kelompok dituntut bersikap loyal untuk memelihara nilai-nilai yang ada. Nilai-nilai yang berfungsi untuk menjaga tingkah laku para pengadopsinya. “wujud ideal dari kebudayaan adalah sifatnya yang abstrak tak dapat diraba atau difoto”. Dengan wujud yang abstrak itu bukan berarti budaya merupakan sesuatu yang tidak jelas atau tidak nyata. Namun, artinya adalah dalam memahami budaya-budaya tersebut dibutukan penafsiran-penafsiran yang bukan hanya dari satu golongan atau satu sudut pandang saja, misalnya dari budayawan saja. Tetapi juga diperlukan penafsiran-penafsiran dari orang yang kompeten di bidang itu, maupun pelaku yang mengadopsi suatu budaya.<br />
Dalam budaya Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar) ada sebuah istilah atau semacam jargon yang mencerminkan identitas serta watak orang Bugis-Makassar, yaitu Siri` Na Pesse. <br />
Hal seperti itulah yang digambarkan dalam buku yang berjudul The Secret of Siri` Na Pesse. Mengungkap nilai-nilai budaya yang tersembunyi dalam Budaya Siri` Na Pesse, yang ditulis oleh Mustari Idris Mannahao ini. Dalam buku yang mengambil latar belakang kondisi sosial masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar, suku yang telah mendiami daerah Sulawesi Selatan, yang telah ada sejak berabad-abad tahun yang lalu ini, menunjukkan bahwa budaya Siri` Na Pesse yang di dalamnya terkandung empat nilai dasar yang melandasi Siri` Na Pesse yaitu lempu- jujur-honest, acca- cerdas-smart, warani-berani-caurage, dan mappesona Ri Dewata Sewwa`E- tawakkal-resignation.<br />
Secara Ladzfiah Siri` berarti rasa malu (harga diri), sedangkan Pesse yang berarti pedas (keras, kokoh pendirian). Jadi Pesse berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan individu lain dalam komunitas. <br />
Layaknya sebuah tradisi, secara turun temurun ini akan menjadi pegangan dan pedoman. Bila mana pada suatu generasi penafsiran meleset, maka akan berdampak ke generasi berikutnya. Jika terjadi disintegrasi terhadap penafsiran Siri` Na Pesse ini, maka tentunya akan berdampak kepada kelanjutan eksistensi falsafah kepada generasi yang akan datang, Inilah yang menjadi kekhawatiran banyak pihak, sehingga harus diluruskan agar kedepannya ini tetap bisa menjadi pedoman, pegangan serta ciri khas masyarakat Bugis-Makassar ke depannya.<br />
Siri` yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sacral. Siri Na Pesse` adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari karakter orang Bugis-Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang hilang Siri`na atau de`gaga siri`na (hilang malunya atau tidak mempunyai malu), maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan derajat orang-orang yang hilang malunya, diibaratkan seperti binatang (sirupai olo` kolo`e). selain itu, ada juga falsafah yang berbunyi “Siri`mi Narituo”, artinya karena malu kita hidup.<br />
Pada dasarnya siri` terbagi dalam dua jenis, yaitu siri` nipakasiri` (eksternal), yang terjadi apabila seseorang dihina atau dipermalukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau keluarganya bila ia sendiri tidak mamapu) harus menegakkan siri`nya untuk mengembalikan dignity (harga diri) yang telah dirampas sebelumnya. Jika ia tidak berusaha merebut kembali atau mengembalikan harga dirinya, maka ia akan dijuluki mate siri` (hilang harkat dan martabatnya sebagai manusia). Hal yang paling sering terjadi berkaitan dengan ripakasiri` (dibuat malu), yaitu jika salah satu anggota keluarga perempuan diganggu atau dibawa lari oleh laki-laki (silariang), ini merupakan ripakasiri` yang dianggap sangat mencoreng harga diri. Oleh karena itu, orang yang dipakasiri` (anggota keluarga perempuan) berjuang atau bahkan mereka rela mati hanya untuk mengembalikan siri`nya. Seperti mencari anggota keluarga yang silariang tersebut yang dianggap makkabbiang siri` (memalukan harkat dan martabat keluarga) bahkan tidak sedikit hal ini berujung ketegangan karena penyelesain masalah yang sangat rumit.<br />
Untuk orang Bugis-Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga siri`nya dari pada hidup tanpa siri`. Mereka terkenal di mana-mana di Indonesia dengan mudah suka berkelahi kalau merasa dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak sesuai dengan derajatnya. Meninggal karena siri` disebut mate rigollai, mate risantangi artnya mati karena memperjuangkan siri`nya (harga diirnya), ia diibaratkan mati secara manis atau mati untuk sesuatu yang berguna. Sebaliknya jika menghina, memaki, dan sabagainya, karena bukan alasan mempertahankan siri`nya tapi dengan alasan lain, maka justru ia dianggap hina. Begitu pula lebih-lebih dianggap hina melakukan kekerasan terhadap orang lain dengan hanya alasan politik, ekonomi, atau dengan kata lain semua alasan perkelahian selain daripada siri`, dianggap semacam kotoran jiwa yang dapat menghilangkan harkat dan martabat kita. Tetapi kita harus mengerti bahwa siri` itu tidak bersifat menentang saja tetapi juga merupakan perasaan halus dan suci. Seseorang yang tidak mendengarkan nasihat orang tuanya dianggap kurang siri`nya. Seseorang yang suka mencuri, atau yang tidak menjalankan ajaran agama yang dianutnya atau tidak sopan santun dalam bersikap dan bertutur kepada orang lain, juga dianggap kurang siri`nya.<br />
Jenis siri` yang kedua adalah siri` masiri` (interrnal), yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi siri` itu sendiri, demi siri` keluarga dan kelompok. Dalam hal demikian orang yang bersangkutan tidak dihina atau dengan artian bahwa siri` itu tidak ditimbulkan oleh orang lain terhadapnya, tetapi siri` masiri` muncul dari dalam diri seseorang itu sendiri, karena telah berbuat sesuatu yang menurutnya tidak pantas ataupun merugikan orang lain.<br />
Selain siri` dikenal juga Pesse sebagai nilai budaya yang tak terpisahkan dari siri` yang bermakna perasaan pedih dan perih yang dirasakan meresap dalam kalbu seseorang karena melihat penderitaan orang lain. Pesse atau kata lain dalam bahasa Bugis (esse babua), yang juga bisa dimaknai rasa kasihan yang tinggi kepada orang lain (empati).<br />
Siri` Na Pesse ini adalah nilai-nilai dasar yang seharusnya dimiliki sebagai karakter dalam bereaktifitas dalam kehidupan sehari-hari bagi setiap laki-laki dan perempuan, apapun profesi yang sedang dijalankan, di manapun berada dan situasi apapun yang selalu mengedepankan nilai-nilai dasar tersebut.<br />
Dalam prinsip Siri` Na Pesse ini, terkandung empat nilai dasar yang melandasi Siri` Na Pesse tersebut, yaitu Lempu-jujur, Acca-cerdas, Warani-berani dan Mappesona Ri Dewata Sewwa-E, yang terealisasikan dalam beberapa sikap dalam kehidupan sehari-hari. Keempat nilai tersebut saling berkaitan dan saling menunjang yang sesuai dengan kondisinya. Mengapa dikatakan bahwa keempat nilai inilah yang melandasi adanya Siri` Na Pesse ? karena pada dasarnya Siri` terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu siri` riwatakkale (malu dengan diri sendiri), siri` ripadatta rupatau (malu kepada sesama manusia), dan siri` ri dewatae (malu kepada Allah Swt). Hal ini seiring dalam paseng (ungkapan) orang Bugis-Makassar “duai temmallaiseng, tellue temmasserang” artinya dua hal yang tak terpisahkan dan tiga hal yang tak terceraikan. Maksudnya adalah dua hal yang tak terpisahkan yaitu badaniah dan batiniah, sedangkan tiga yang tak terceraikan yaitu Allah Swt, Nabi Muhammad SAW dan manusia itu sendiri. Dalam ketiga tingkatan siri` tersebut, masiri` (malu pada diri sendiri jika ia tidak cerdas, dalam artian malu jika ia tidak memiliki kecerdasan untuk berkembang, malu jika ia berbohong, malu jika ia tidak pemberani dan malu jika ia tidak agamis (taat beribadah). <br />
Pengembangan dari keempat nilai-nilai tersebut dapat kita lihat keterkaitannya sebagai berikut : kalau kita memiliki kecerdasan dalam belajar atau dalam mengerjakan sesuatu tetapi tidak memiliki lempu (kejujuran) maka sesuatu yang kita lakukan tersebut tidak akan bertahan lama, sebab kita akan kehilangan kepercayaan dari orang lain atau partner kerja kita. Begitupula, walaupun kita jujur tapi kita tidak memiliki keberanian untuk bertindak, juga tidak akan menghasilkan apa-apa.atau kita memiliki sikap warani (pemberani) tetapi tidak disertai dengan acca (cerdas) dan lempu (jujur), maka keberanian itu menjadi tidak terarah bahkan bisa berubah menjadi sebuah ketakutan, akhirnya menjadi penghalang besar bagi kita untuk berbuat. Itulah sebabnya keempat hal ini sebisa mungkin dimiliki dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, karena keempat nilai-nilai inilah yang merupakan ciri utama yang menentukan ada tidaknya Siri` pada diri seseorang.<br />
Dalam pemahaman seperti itulah orang Bugis-Makassar menganggap bahwa Siri` Na Pesse adalah budaya dan falsafah yang harus dimiliki seseorang yang dianggap melandasi hidup sebagai makhluk individu, manusia sebagai makhluk sosial (berinteraksi dengan orang lain), dan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki kewajiban untuk selalu beribadah dan berserah diri.<br />
Dari buku yang bersetting masyarakat Bugis-Makassar ini pembaca dapat memahami bahwa atas dasar nilai-nilai tersebutlah mengapa Siri` Na Pesse merupakan falsafah sakral dan dipertahankan dalam masyarakat Bugis-Makassar. Namun, bukan berarti buku ini adalah buku yang hanya diperuntukkan atau hanya bisa dibaca masyarakat Bugis-Makassar saja, tetapi diperuntukkan bagi seluruh warga Indonesia. Karena jika kita merefleksi diri bahwa pada dasarnya budaya malu dan empati seharusnya dimiliki oleh setiap orang, dalam artian masyarakat Indonesia yang terkenal dengan budaya timurnya. <br />
Akan tetapi, bagi pembaca di Indonesia, akan lebih menarik jika Mustari Idris sebagai penulis buku ini dapat secara detail menunjukkan atau menggambarkan kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, bagaimana tata krama kehidupannya, agar pembaca yang bukan hanya dari kalangan masyarakat Bugis-Makassar, tetapi masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa bisa memahami lebih dalam dan lebih dekat pengaplikasian Siri` Na Pesse tersebut.<br />
<br />
<br />
Jurnal Bastrahttp://www.blogger.com/profile/13569373624882193527noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5627439215651572331.post-64420212878267405102011-12-19T22:35:00.000-08:002011-12-22T23:10:48.457-08:00ANALISIS CERPEN LA RUNDUMA KARYA WAODE WULAN RATNA<div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8SapNdJi0KHlLOCTEqZ70XZ06GRVLbAQp2Dge_WkfczDmbyWDiDK0FZw_jzYtnQMAn7gL89jSYzpjMQIdkNlVLh5qxGTs2iHFubqa6aG787muGgo85WDTnE5BVKEDFXExzsES1aVEM9o/s1600/imp.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8SapNdJi0KHlLOCTEqZ70XZ06GRVLbAQp2Dge_WkfczDmbyWDiDK0FZw_jzYtnQMAn7gL89jSYzpjMQIdkNlVLh5qxGTs2iHFubqa6aG787muGgo85WDTnE5BVKEDFXExzsES1aVEM9o/s1600/imp.jpg" /></a><b>1.Alur dan Pengaluran</b><br />
<br />
Cerita ini mengisahkan tentang seorang gadis yang bernama Johra yang hanya hidup bersama ayahnya yang bernama Mailidun. Ayahnya ini bekerja sebagai pawang penabuh gendang pilihan setiap kali pada acara pasuo.Johra membenci ayahnya tersebut, karena ayanhnya tidak merestui hubungannya dengan kekasih yang ia sangat cintai yang bernama La Runduma.<br />
<a name='more'></a> La Runduma ini bukanlah lelaki yang rupawan dan hanya pekerja serabutan, itulah sebabnya ayah Johra tidak merestui hubungan mereka. Ayah Johra merasa bahwa La Runduma tidak sederajat dengan Johra, anaknya.</div><br />
<br />
Pada suatu hari Johra mengikuti acara ritual(pasuo) atas kehendak ayahnya. Acara ini merupakan acara adat Buton yaitu ritual bagi anak gadis untuk menjadikan wanita dewasa dan mampu mengurus rumah tangga yang biasanya berlangsung selama delapan hari dengan diiringi tabuhan gendang dan pada acara terakhir gadis yang mengikuti ritual tersebut dimandikan dengan air suci. Namun sebelumnya, Johra sudah malakukan perjanjian dengan La Runduma bahwa La Runduma akan membawanya pergi sebelum Johra dimandikan. Malam demi malam telah dilalui Johra dalam ritual tersebut dan pada malam keenam dan ketujuh gendang ayah Johra pecah, hal tersebut menandakan bahwa ada peserta yang tidak perawan lagi.<br />
Sesuai perjanjian, sebelum Johra dimandikan La Runduma pun datang dan membawanya pergi dari tempat itu. Tentulah hal tersebut mengejutkan semua orang terutama ayahnya. Ayah Johra sangat marah dan mengira bahwa perbuatan anaknyalah yang mengakibatkan gendangnya pecah, itu artinya bahwa ia menuduh anaknya sudah tidak perawan lagi. Padahal hal tersebut sangatlah tidak benar, karena bukanlah Johra yang menodai acara tersebut, tapi salah satu diantara peserta pasuo lainlah yang melakukannya.<br />
Cerita dongeng yang pendek ini dibangun oleh empat puluh tiga sekuen berikut:<br />
1. Deskripsi tentang ayah Johra<br />
2. Ketidaksetujuan ayah Johra terhadap hubungan Johra dengan La Runduma, kekasihnya.<br />
3. Kemarahan Johra kepada ayahnya.<br />
4. Deskripsi tentang La Runduma<br />
5. Ayah Johra menginginkan Johra menikah dengan lelaki yang sederajat dengan Johra.<br />
6. Johra mengikuti ritual pasuo<br />
7. Keterpaksaan Johra mengikuti ritual pasuo untuk memenuhi kehendak ayahnya.<br />
8. Deskripsi tentang acara ritual pasuo<br />
9. Perjalanan Johra dan teman-temannya dari keraton Buton ke Gunung Nona yang diiringi dengan tabuhan gendang.<br />
10. Deskripsi tentang Gunung Nona<br />
11. Kegelisaan Johra mengikuti acara ritual pasuo<br />
12. Ketakutan Johra akan sesuatu yang akan terjadi pada dirinya di tempat suo(ruang sempit tempat para peserta pasuo) yang akan ditempatinya bersama teman-temannya.<br />
13. Isyarat ayah Johra kepada Johra agar tidak berbuat yang macam-macam.<br />
14. Tibanya Johra dan teman-temannya di suo.<br />
15. Ingatan Johra atas perjanjiannya dengan La Runduma untuk membawanya pergi sebelum Johra dimandikan.<br />
16. Johra mengikuti sesi pertama ritual(pauncura).<br />
17. Ingatan Johra atas pertengkarannya dengan ayahnya tentang La Runduma<br />
18. Perbincangan Johra dengan teman-temannya tentang ketidaksukaan mereka mengikuti acara ritual.<br />
19. kegelisahan Johra akan janji La Runduma.<br />
20. Keheranan Johra akan suara-suara cumbuan antara gadis dengan laki-laki dalam sebuah kamar mandi.<br />
21. Ketersiksaan Johra dalam suo.<br />
22. Ketakutan Johra akan terjadi sesuatu pada gendang ayahnya atas kejadian yang ia saksikan.<br />
23. Deskripsi tentang pelajaran-pelajaran dalam acara pasuo<br />
24. Pendapat Johra tentang acara pasuo.<br />
25. Kepenasaran Johra terhadap siapa gerangan gadis yang telah menodai acara ritual pasuo<br />
26. Ketakutan para orang tua peserta pasuo atas pecahnya gendang.<br />
27. Perbincangan Johra dengan temannya tentang pecahnya gendang yang ditabuh ayah Johra.<br />
28. Kerinduan Johra kepada La Runduma<br />
29. Ingatan Johra atas perjanjiannya dengan La Runduma<br />
30. Ingatan Johra terhadap ayahnya.<br />
31. Kalutnya pikiran Johra<br />
32. Kedatangan La Runduma di suo<br />
33. Perbincangan La Runduma dengan Johra<br />
34. Antrian Johra dan para peserta pasuo lainnya untuk dimandikan<br />
35. Johra pergi meninggalkan tempat pasuo bersama La Runduma<br />
36. Kepergian Johra diketahui oleh ayahnya dan para penyelenggara pasuo lainnya<br />
37. Ayah Johra sangat marah mengetahi anaknya dibawa pergi bersama dengan La Runduma<br />
38. Janji ayah Johra untuk tidak mau merestui hubungan Johra dengan La Runduma<br />
39. Kepanikan para penyelenggara pasuo atas kepergian Johra<br />
40. Tuduhan para penyelenggara pasuo kepada Johra, bahwa Johra sudah tidak perawan lagi<br />
41. Ketidaksetujuan Johra terhadap tudahan para penyelenggara pasuo, terutama ayahnya bahwa dirinya sudah tidak perawan lagi.<br />
42. Ketidakadilan yang dirasakan Johra atas tuduhan yang dilontarkan kepadanya<br />
43. Johra dan La Runduma pergi ke tempat yang begitu jauh.<br />
<br />
Seluruh sekuen di atas membangun cerita dalam pengaluran yang bergerak maju-mundur. Cerita ini ditemukan sekuen-sekuen berupa kenangan ataupun kilas-balik. Pada bagian pertengahan dan bagian akhir cerita, terdapat dua bayangan ingatan (dalam bagan ditujukkan oleh lingkaran dengan panah kearah kiri), sekuen 15 tentang ingatan Johra mengenai perjanjiannya dengan La Ramundu, dan sekuen 29 dan 30 tentang ingatan Johra terhadap La Ramundu dan ingatannya terhadap ayahnya.<br />
<br />
Selanjutnya mari kita beralih pembicaraan pada urutan fungsi utama. Urutan fungsi utama cerita ini adalah sebagai berikut.<br />
1. Ayah Johra tidak merestui hubungan Johra dengan La Runduma.<br />
2. La Runduma hanya seorang lelaki biasa dan pekerja serabutan<br />
3. Ayah Johra meninginkan Johra menikah dengan lelaki yang sederajat dengan Johra<br />
4. Ayah Johra menginginkan Johra mengikuti acara ritual pasuo<br />
5. Johra melakukan janji dengan La Runduma\agar datang dan membawanya pergi pada acara pasuo<br />
6. Johra menuruti keinginan ayahnya dan mengikuti proses ritual pasuo<br />
7. Johra sangat tersiksa hidup dalam suo<br />
8. Johra mengetahi seorang diantara teman- temannya yang mengikuti ritual ada yang menodai ritual pasuo.<br />
9. Johra takut akan sesuatu terjadi pada gendang ayahnya.<br />
10. Gendang ayah Johra pecah yang menandakan bahwa ada di antara peserta pasuo yang sudah tidak perawan lagi<br />
11. Penyelenggara acara pasuo panik dengan pecahnya gendang yang ditabuh ayah Johra<br />
12. La Runduma datang memenuhi janjinya kepada Johra sebelum Johra dimandikan<br />
13. La Runduma membawa pergi Johra dari acara itu sebelum Johra dimandikan<br />
14. Ayah Johra sangat marah dengan perbuatan La Runduma yang telah membawa anaknya pergi.<br />
15. Para penyelenggara pasuo termasuk ayah Johra, menuduh Johra bahwa Johra-lah yang mengakibatkan gendang yang ditabuh ayahnya pecah.<br />
16. Johra merasa bahwa tuduhan orang-orang terhadap dirinya tidak benar karena dirinya masih perawan dan bukanlah dia yang menodai acara ritual tersebut<br />
17. Johra merasa bahwa orang-orang tidak adil terhadapnya.<br />
<br />
Ayah Johra tidak merestui hubungan Johra dengan La Runduma(FU1). Karena La Runduma hanya lelaki biasa dan pekerja serabutan(FU2). Ayah Johra hanya menginginkan Johra menikah dengan lelaki yang sederajat dengan Johra(FU3),dan itulah sebabnya juga ayah Johra menginginkan Johra mengikuti acara ritual pasuo(FU4). Namun sebelum Johra memenuhi keinginan ayahnya tersebut sebelumnya ia telah melakukan perjanjian dengan La Runduma untuk membawanya pergi sebelum acara ritual selesai(FU5). Johra pun mengikuti acara tersebut dengan terpaksa, hanya memenuhi keinginan ayahnya(FU6). Johra sangat tersiksa mengikuti acara ritual tersebut(FU7). Suatu ketika Johra mengetahi bahwa ada di antara temannya yang menodai acara ritual tersebut, dengan melakukan hal-hal yang seharusnya sangat dilarang dalam acara pasuo (FU8).Hal tersebut membuat Johra takut akan ada sesuatu yang terjadi kepada gendang yang ditabuh ayahnya(FU9) dan hal tersebut terbukti ternyata gendang yang ditabuh ayahnya pecah, yang menandakan bahwa ada di antara peserta pasuo yang sudah tidak perawan lagi(FU10).Dengan kejadian tersebut membuat penyelenggara ritual pasuo panik(FU11). Pada suatu malam sebelum acara pasuo berakhir La Runduma pun datang memenuhi janjinya pada Johra(FU12) dan membawa Johra pergi dari tempat itu(FU13). Kepergian Johra dari acara tersebut tentulah membuat ayahnya sangat marah apalagi ia tahu bahwa La Runduma-lah yang membawa Johra pergi(FU14) dan hal tersebut membuat ayah Johra dan para penyelenggara ritual lainnya menuduh bahwa Johra-lah yang mengakibatkan gendang yang ditabuh pecah(FU15). Johra yang dari awal sudah memikirkan hal tersebut akan terjadi dan tuduhan-tuduhan yang akan dilontarkan kepada dirinya merasa tidak setuju karena ia masih perawan dan sebenarnya bukanlah dia penyebab pecahnya gendang tersebut(FU16) dan Johra menganggap hal tersebut sungguh tidak adil bagi dirinya(FU17).<br />
<br />
<b>2.Tokoh</b><br />
<br />
Tokoh utama cerita ini adalah Johra. Nama ini sebenarnya tidak relevan dengan judul cerpen ini sendiri dimana cerpen ini berjudul La Runduma. Johra ini hidup dan dibesarkan oleh ayahnya yang bernama Laimidun yang bekerja sebagai penabuh gendang pada setiap acara ritual pasuo. Johra ini mencintai seorang lelaki yang bernama La Runduma. Namun cintanya itu mengalami hambatan karena ayahnya tidak merestui hubungan mereka. Ayahnya menginginkan Johra menikah dengan lelaki yang sederajat dengan Johra bukan seperti La Runduma yang hanya lelaki biasa dan pekerja serabutan. Itulah sebabnya juga ayah Johra menginginkan Johra mengikuti acara ritual yang dikenal dengan acara pasuo. Johra pun memenuhi kehendak ayahnya dengan mengikuti ritual tersebut. namun sebelmnya Johra telah melakukan janji dengan La Runduma untuk membawanya pergi sebelum ritual terakhir dijalaninya. Sebelum acara ritual berakhir La Runduma pun datang memenuhi janjinya dan membawa Johra pergi dari tempat pasuo tersebut. Dengan tindakan Johra yang demikian memnuculkan tudahan orang-orang, termasuk ayahnya kepada dirinya, bahwa Johra telah menodai ritual dan anggapan orang bahwa Johra sudah tidak perawan lagi. Johra merasa bahwa orang-orang telah berbuat tidak adil kepadanya, karena bukanlah dia yang menodai ritual tersebut. Johra seorang gadis yang masih perawan.<br />
Tokoh ayah yang merupakan tokoh anatagonis yang berlawanan dengan Johra sebagai tokoh protagonist. Ia begitu egois, dimana ia terlalu memaksakan kehendaknya untuk menikahkan Johra dengan lelaki yang derajatnya lebih tinggi. Namun pada akhirnya kehendaknya itupun membawa kekecewaan bagi dirinya karena ternyata Johra tidak menghiraukan segalah nasehat dan larangannya.<br />
Selain itu, tokoh yang begitu pemberani, yaitu La Runduma. La Runduma ini adalah kekasih Johra yang yang juga sangat mencintai Johra. Bahakan dengan kebesaran cintanya ia berani membawa Johra pergi dari acara ritual pasuo. La Runduma ini adalah lelaki yang sangat bertanggungjawab. Di mana dalam kondisi apapun ia masih berusaha memenuhi jajnjinya kepada Johra. Keberhasilan La Runduma membawa Johra pergi dari acara pasuo juga tidak lepas dari peran tokoh perempuan yaitu kekasihnya, Johra yang juga begitu memperjuangkan cintanya kepadanya. Wanita tersebut rela meninggalkan ayahnya hanya demi cintanya kepada La Runduma yang membuat ayahnya sangat terpukul dengan hal tersebut. Selain itu Johra rela namanya tercoreng dengan tuduhan-tuduhan ayahnya dan orang-orang terhadapnya.<br />
Demikianlah analisis tokoh-tokoh dalam cerita ini. Semua tokoh dalam cerita ini memiliki nama diri. Penyebutan nama tokoh menggunakan sapaan nama tersendiri(Run), hubungan kekerabatan(ayah). Sebagaimana lazimnya sebuah cerita akhirnya tokoh utama pun berhasil mencapai keinginannya untuk hidup bersama dengan kekasihnya, La Runduma ,walaupun banyak menimbulkan permasalahan pada dirinya dengan perbuatannya itu.<br />
Sikap Johra ini juga menggambarkan ketidaksetujuannya terhadap budaya-budaya yang masih membeda-bedakan kasta seseorang. <br />
<br />
<b>3. Latar</b><br />
<br />
Latar cerita ini mengambil latar tempat di sebuah kampung, di sebuah ruangan suo, di sebuah wilayah di Buton dengan menyebut nama tempat di mana keberadaan si tokoh dalam cerita. Penyebutan latar tempat dalam cerita ini sangat bersifat mendetail di mana setiap tempat diceritakannya secara mendetail. Pada awal cerita misalnya, dinyatakan bahwa”usai berjalan jauh dari Keraton Buton, tibahlah kami di Gunung Nona. Tempat ini sangat sepi dinaungi perkebunan langsat dan kecapi”. Penyebutan Keraton Buton dan Gunung Nona dalam penggalan itu menyiratkan bahwa kejadian ini berlangsung di daerah Buton. Latar lain yng disebutkan dalam cerita ini adalah sebuah suo, yaitu tempat di mana para peserta pasuo ditempatkan. Misalnya pada kutipan”acara pingitan yang menyeramkan ini menempatkanku dengan ketujuh gadis lainnya”dalam suo yang pengap dan lembab tanpa penerangan cahaya apapun”. Hal ini mengambarkan tentang begitu menyiksanya tempat yang ditempati meraka dalam mengikuti acara ritual itu. Selain kedua latar yang dideskripsikan di atas, masih ada latar lain yang dimunculkan, seperti perkebunan, di dalam kamar, kamar mandi, dan halaman rumah tempat peserta pasuo. Semua latar ini dinyatakan disertai dengan deskripsi, namun hal tersebut tidaklah terlalu ditonjolkan dalam cerita ini.<br />
Seperti halnya latar tempat , latar waktu pun juga dimunculkan dalam cerita ini seperti pernyataan “malam kasip. Gendang itu masih menabuh di kejauhan membuat bunyi-bunyi berlindungdi belakang pukulannya”. Selain itu ada juga pernyataan latar waktu yang lain yaitu”mala mini aku akan tidur menghadap matahari terbit, sebab hari ini adalah hari keenam aku akan dapat melirik jendela”. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa kejadian yang terjadi dalam cerota ini umumnya berlangsung pada malam hari dan hal tersebut mendeskripsikan lamanya Johra mengikuti acara tersebut dengan penuh kegelisaan.<br />
Dalam cerita ini juga deceritakan sebuah latar budaya yaitu budaya pasuo, di mana budaya ini merupakan budaya masyarakat Buton. Acara ini merupakan acara pingitan bagi anak gadis yang beranjak dewasa yang biasanya dilakukan selama delapan hari di dalam sebuh suo( ruang kecil).<br />
<div style="text-align: justify;"><br />
<b> 4. Tema</b><br />
Cerita ini menyajikan tema tentang hak seorang manusia. Hak tentang seorang gadis untuk mencintai lelaki siapa pun yang menurutnya dia baik bagi dirinya dan persoalan kasta tidaklah menjadi penghalang seseorang untuk saling mencintai dan mengasihi.Hal ini terlihat pada motif perlawanannya kepada ayahnya yang tidak merestui hubungannya dengan La Runduma dan motif selanjutnya adalah keberaniannya pergi menerobos dinding ketidakadailan bagi dirinya.</div>Jurnal Bastrahttp://www.blogger.com/profile/13569373624882193527noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5627439215651572331.post-13996687862545929172011-12-19T22:30:00.000-08:002011-12-22T23:08:20.968-08:00TELAAH SAJAK “ANJING GILA” KARYA SAINI K.M<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrJKx01C0SYAqxfbrAgKzEiOjMs-ZNecI1o_gdoUZUyIcI2PUhF3tGUHImAmBFoBSlJMn5Z_wOqqG2k4rjriv7oMf3D5H_Z9np9SBY_drjn_j3FusKxpHKmw1TVrwn4y-o0kj5UpfoF3M/s1600/mt11.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrJKx01C0SYAqxfbrAgKzEiOjMs-ZNecI1o_gdoUZUyIcI2PUhF3tGUHImAmBFoBSlJMn5Z_wOqqG2k4rjriv7oMf3D5H_Z9np9SBY_drjn_j3FusKxpHKmw1TVrwn4y-o0kj5UpfoF3M/s1600/mt11.jpg" /></a><b>ANJING GILA</b><br />
Anjingmu yang tanpa kauketahui menjadi gila<br />
tiba-tiba menggigitmu. Lalu kauambil senapan.<br />
Namun sebelum menarik pelatuk, ingatlah <br />
di hatinya ia seperti dulu, sayang-setia padamu.<br />
Barangkali kata-kataku sekali akan jadi<br />
seperti taringnya, tajam dan berbisa.<br />
<a name='more'></a><br />
Andai hatimu luka, ingatlah kau tak luka sendiri.<br />
Tiada pilihan bagi kita, selain saling terbuka,<br />
Kejujuran bagai belati tak bersarung mungkin<br />
menorehmu, padahal kauhadiahkan sebagai tanda<br />
persahabatan. Anjing itu pertama-tama akan menggigitmu<br />
karena engkaulah yang dekat padanya.<br />
(Saini K.M., Nanyian Tanah Air, 2000:70)<br />
Sajak di atas merupakan sajak lirik dan kita dapat dengan mudah untuk melihat jumlah bait di sini. Selain itu, puisi lirik ini sangat kaya dengan rima, baik rima awal, maupun rima akhir. Sajak tersebut terdiri atas 3 bait dan 12 larik. Sementara itu, sajak di atas, pada bait pertama dan ketiga memiliki rima akhir yang tidak teratur, hanya bait kedua yang memilki rima akhir yang teratur yaitu rima a-b-a-b.<br />
<br />
Marilah kita lihat sekarang susunan larik dan kalimatnya. Di sini, hanya ditemui 12 larik yang hampir sama panjangnya. Sebagian besar larik-larik tersebut merupakan potongan-potongan kalimat dari larik sebelumnya. Pada sajak ini tak banyak jenis tanda baca yang kita dapatkan. Tanda baca yang ditemui dalam sajak ini yaitu tanda titik (.) dan tanda koma (,). Di dalam sajak ini, hadir 8 kalimat. Kalimat pertama terdapat pada larik pertama dan larik kedua, yang diakhiri dengan tanda titik. Kalimat kedua juga terdapat dalam larik kedua yang diakhiri tanda titik, begitupun dengan enam kalimat selanjutnya juga diakhiri dengan tanda titik.<br />
Hasil analisis bentuk ini membawa kita pada masalah makna: siapakah sebenarnya yang digambarkan dalam sajak ini? Apakah memang anjing gila yang sebenarnya atau bukan? Ada beberapa kemungkinan interpretasi: anjing sebenarnya binatang yang memiliki dua sisi kehidupan. Anjing merupakan binatang yang liar dan bisa juga menjadi binatang yang jinak. Anjing bisa menjadi binatang yang sangat lucu, menyenangkan, binatang penjaga, binatang yang dapat dipercaya, binatang yang begitu setia pada majikannya, bahkan anjing adalah binatang yang rela memperjuangkan hidup dan matinya hanya untuk mengabdi pada majikan atau tuannya. Itulah sebabnya, tidak sedikit orang yang sangat menyukai binatang ini, bahkan memelihara dan memanjakannya seperti selayaknya manusia. Namun, di sisi lain anjing akan menjadi binatang yang sangat menakutkan ketika ia menjadi liar atau gila. Di sini, anjing gila akan menggigit siapa saja yang dekat dengannya, bahkan majikannya sekalipun. Sepertinya anjing gila yang dimaksud dalam sajak ini merupakan metafor dari manusia. Kondisi anjing yang digambarkan dalam sajak ini adalah anjing gila yang tidak mengenal tuannya lagi, bahkan anjing tersebut menggigit tuannya. Di sini, juga digambarkan bahwa anjing tersebut sebelumnya anjing yang begitu setia pada tuannya. Anjing dalam sajak ini yang diartikan sebagai metafor dari manusia adalah seseorang yang sebelumnya sangat dipercaya, tapi dengan tiba-tiba justru berbalik mengkhianat, dalam sajak ini dikatakan “Anjingmu yang tanpa kauketahui gila tiba-tiba menggigitmu”. Pada saat demikian, kita sepertinya langsung menyalahkannya, tetapi di sisi lain kita perlu sadar bahwa ia pernah mengabdi pada kita “lalu kauambil senapan. Namun, ingat sebelum menarik pelatuk, ingatlah ia seperti dulu, sayang-setia padamu”. Di sini, dibutuhkan suatu kesadaran bahwa mungkin itu semua terjadi karena adanya kesalahpahaman “Tiada pilihan lain bagi kita, selain saling terbuka”. Karena mungkin saja di sini ada yang salah dalam diri kita atas semua itu, kita tidak bisa menyalahkan ia sepenuhnya “Anjing itu pertama-tama akan menggigitmu karena engkaulah yang dekat padanya”.<br />
Kini sampailah kita pada bagian terakhir dari analisis sajak “Anjing Gila” ini, yang menampilkan komunikasi dalam puisi. Di sini si narator memberi tanggung jawab pada orang lain yang menurut narator mengemukakan isi puisi ini kepada si narator lain. Kata “anjingmu, kauketahu, kauambil, padamu, hatimu, kau, menorehmu, menggigitmu, engkaulah” ditampilkan di beberapa kalimat dengan begitu jelas. Namun, di beberapa kata juga si narator berbicara sendiri “kata-kataku, kita” menunjukkan adanya kehadiran langsung si narator dalam cerita yag disajikan dalam sajak tersebut. Si naratorlah yang berusaha bercerita dan memberi penjelasan pada si narator lain tentang seseorang yang telah menyakitinya sekarang, tapi di sisi lain orang itu juga pernah mengabdi padanya. Jadi di sini, kita hadir pada percakapan si narator pertama dan narator lain (kedua), sedangkan si sahabat dijadikan sebagai bahan pembicaraan antara keduanya, dan dia tak berhak bicara, serta kehadirannya pun secara langsung tak nampak dalam sajak ini.<br />
Setelah melihat interpretasi secara tekstual, marilah kita lihat secara keseluruhan sajak ini dalam kehidupan sehari-hari. Orang selalu menganggap bahwa sajak adalah karya sastra yang khusus, tidak seperti novel atau cerpen, yang menggambarkan kehidupan sehari-hari. Bila kita mendalami sajak di atas, maka akan terasa bahwa beberapa baris sajak ini justru menampilkan cuplikan kehidupan yang sangat intens. Sajak ini mengemukakan tema tentang pentingnya kejujuran atau keterbukaan dalam suatu hubungan. Hubungan apapun itu. Penggambaran tentang kejujuran atau saling terbuka ini diselubungi oleh metafor, sehingga seakan-akan yang diceritakan bukanlah lingkup hubungan manusia dengan manusia. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, gambaran yang ditampilkan dalam sajak ini adalah gambaran tentang anjing gila, tetapi kosakata yang dimaksud adalah kosakata yang mengacu pada orang terdekat atau sahabat, dan sebagainya, serta yang dipilih adalah kosakata yang mengemukakan tentang arti kehadiran seseorang yang kadang memberi kebaikan dan ketidakbaikan dalam diri kita yang kedua-duanya harus disadari dan dimaknai. Namun, di balik gambaran yang mengemukakan tentang kedua sisi yang dihadirkan orang-orang terdekat kita. Di sini juga digambarkan tentang perlunya selalu menyadari bahwa jika seseorang yang telah lama bersama kita, orang terdekat kita, orang yang telah kita percayai, orang yang begitu setia pada kita, tiba-tiba berbalik mengkhinatai kita. Pada posisi ini kita tak boleh langsung memvonis dan menyalahkannya. Karena bagaimana pun orang tersebut pernah berbuat baik pada kita. Kita tidak boleh hanya melihat sisi kesalahan yang dilakukannya pada kita sekarang, tetapi kita juga harus mengingat kebaikan-kebaikan yang pernah ia persembahkan untuk kita. Selain itu, kita harus mengintropeksi diri. Mungkin ada sesuatu yang salah dalam diri kita sehingga ia melakukan hal tersebut. Jadi, dalam hal ini dibutuhkan suatu pembicaraan dan saling terbuka tentang suatu masalah sehingga kita bisa terhindar dari kesalahpahaman dan salah memvonis sesuatu. <br />
Jurnal Bastrahttp://www.blogger.com/profile/13569373624882193527noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5627439215651572331.post-90173265673446512712011-12-19T22:08:00.000-08:002011-12-22T23:19:07.875-08:00Persoalan Kasta dalam Dua Naskah Drama Bulan Muda yang Terbenam Karya La Ode Balawa dan Ningrat Karya La Ode Sadia<div style="text-align: justify;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEio0qAFHcbgU_LIrxkGSskETV8OSLILExR3d169NsKd7St0G4vK2C7nX_IJKlQqVEFaDjJVziyMCNyMV-l_-uQTSx_58RT9LHPEwUomAaBdw8Ro7f8w781cQmIFznGRsPWHZQQxs_Vodxs/s1600/mt22.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEio0qAFHcbgU_LIrxkGSskETV8OSLILExR3d169NsKd7St0G4vK2C7nX_IJKlQqVEFaDjJVziyMCNyMV-l_-uQTSx_58RT9LHPEwUomAaBdw8Ro7f8w781cQmIFznGRsPWHZQQxs_Vodxs/s1600/mt22.jpg" /></a><b>Abstrak </b><br />
Tujuan penganalisisan ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang jelas dan menyeluruh mengenai budaya-budaya dan tradisi perjodohan atau pernikahan yang masih berkembang dalam masyarakat Buton dengan melihat bagaimana pengarang menyajikan imajinasinya dengan fonemena dan realitas yang berkembang di masyarakat dan menghubungkannya dengan budaya-budaya lain di luar masyarakat Buton <br />
<a name='more'></a>yang juga memiliki tradisi atau budaya yang sama dengan yang berkembang pada masyarakat Buton seperti yang dikisahkan dalam naskah drama Bulan Muda yang Terbenam karya La Ode Balawa dan naskah drama Ningrat karya La Ode Sadia.</div><br />
<br />
<b>Pendahuluan</b><br />
<br />
Suatu karya sastra tidak tercipta tidak dalam kekosongan sosial budaya, artinya, pada intinya pengarang tidak dengan tiba-tiba mendapat berkah misterius, kemudian dengan elegannya sehingga mampu menciptakan suatu karya sastra. Suatu karya sastra tercipta lebih merupakan hasil pengalaman, pengamatan, pemikiran, refleksi dan pengamatan budaya pengarang terhadap sesuatu hal yang terjadi dalam dirinya sendiri, dan masyarakat atau apa yang terjadi pada lingkunagn sekitarnya. <br />
Karya sastra juga merupakan suatu krucutusi subjektif pengarang dalam memberikan suatu ide, pemikiran, pesan, dan gagasan sesuatu hal. Dalam hal ini karya sastra tercipta tidak hanya semata-mata ciptaan suatu individu an sich dari pengarang, tetapi ciptaan dari apa yang disebut Lucian Goldmann struktur mental dari suatu individual dari sebuah kelompok sosial, ide-ide, nilai-nilai, dan cita-cita yang diyakini dan dihidupi oleh kelompok sosial tertentu yang sesuai dengan pemikiran pengarang (Eglaton, 2002 :58).<br />
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinsasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya (vision du monde) kepada subjek kolektifnya signifikansi yang dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra berada pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu. Keberadaan sastra demikian itu, menjadikan ia dapat diposisikan sebagai dokumen sosiobudaya (Jabrohim dan Ari Wulandari, 2001 : 61).<br />
Sastra sebagai lembaga sosial yang menyuarakan padangan dunia pengarangnya. Pandangan dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi berdasarkan fonemena sosial dan budaya yang berkembang dalam masyarakat.<br />
Karya sastra, seperti diakui banyak orang, merupakan suatu bentuk komunikasi yang disampaikan dengan cara yang khas dan menolak segala sesuatu yang serba “rutinitas” dengan memberikan kebebasan kepada pengarang untuk menuangkan segala pandangan-pandanagan dunianya. Hal ini menyebabkan karya sastra menjadi lain, tidak lazim, namun juga kompleks sehingga memiliki berbagai kemungkinan penafsiran. Berawal dari inilah kemudian muncul berbagai teori dan pendekatan untuk mengkaji atau menganalisis karya sastra, termasuk karya sastra dalam bentuk drama. Dengan pendekatan tersebut menjadi landasan pembaca untuk memberikan tafsiran, kritik atau penganalisisan terhadap karya sastra drama tersebut. Bagaimana pembaca memahami dan memberikan pemaknaan terhadap apa yang disajikan dalam naskah drama tersebut.<br />
Drama adalah bentuk karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan ( action) dan dialog. Lakuan dan dialog dalam drama tidak jauh beda dengan lakuan serta dialog yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. <br />
Drama seperti juga karya sastra lain yang merupakan refresentasi imajiner pengarang yang tidak lepas dari latar belakang sosial, dimana lingkungan masih selalu mempengaruhi imajiner pengarang dalam karyanya. <br />
Berdasarkan hal tersebut, dipandang penting mengangkat suatu bentuk karya sastra dalam hal ini drama untuk dianalisis. Dalam pengkajian ini penulis memilih drama yang berjudul Bulan Muda yang Terbenam karya La Ode Balawa, Ningrat karya LaOde Sadia, dan Dilarang Kawin karya Iwan Djibran untuk dijadikan objek penganalisisan. Penulis memilih drama ini karena penulis ingin mengetahui seberapa besar faktor sosial budaya mempengaruhi imajiner pengarang dalam drama tersebut. dengan melihat melihat berbagai faktor, seperti adat istiadat, keturunan, agama, politik, ekonomi, dan sebagainya.<br />
<b>Pembahasan</b><br />
Pada drama Bulan Muda yang Terbenam merupakan drama yang mengangkat suatu cerita dari kebudayaan Cia-Cia, suatu kebudayaan yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Drama ini menceritakan tentang cinta terlarang antara La Domai dan Wani. Di mana dalam cerita ini menceritakan tentang suatu kebudayaan masyarakat Cia-Cia, Buton yang masih mempertahankan adatnya bahwa golongan atas tidak boleh mencintai golongan bawah begitupun sebaliknya. Amangkali dalam cerita ini berperan sebagai ayahanda Wani yang tetap bersih keras mempertahankan adat tersebut, ia rela mempetaruhkan nyawanya hanya demi menjunjung tinggi budaya dan adat yang selama ini diyakini oleh masyarakat Cia-Cia. Amangkali tidak mahu merestui hubungan Wani anaknya dengan La domai, karena La Domai berasal dari golongan Batuatas yang tidak jelas asal-usulnya, sedangkan ia keturunan bangsawan. Ia telah menjodohkan anaknya dengan orang yang sederajat yang juga berasal dari golongan bangsawan. Meskipun ia tahu bahwa Wani anaknya dengan La Domai saling mencintai, namun ia tidak menghiraukan hal itu, karena menurutnya adat tetaplah adat dan tidak ada orang yang berhak melanggar hal itu, meskipun kematian menjadi taruhannya. Hingga beberapa penasehat kerajaan telah mencoba membujuknya, untuk sedikit sadar dalam mengahadapi hal itu, namun pendirian tidak goyah. Ia tetap pada pendiriannya semula bahwa Wani harus menikah dengan orang yang sederajat. Hingga akhirnya Wani dan La Domai pun mengambil jalan pintas, yaitu kawin lari. Amangkali sangat marah dan malu dengan kejadian itu, hingga mengutus Langkaliti, putranya untuk meyusul adiknya dan menangkap La Domai, namun dalam penangkapan La Domai tersebut terjadi pertarungan antara Langkaliti dengan La Domai, hingga La Domai terbunuh. Karena cinta yang begitu besar Wani pada La Domai, melihat La Domai terbunuh ia pun memilih untuk bunuh diri, sebagai wujud tanggung jawab dan cintanya pada La Domai.<br />
Jika dibandingkan dengan drama Ningrat yang juga mengangkat cerita dari kebudayaan Buton, Sulawesi Tenggara. Drama ini juga mnceritakan tentang kisah cinta terlarang antara Wd. Abe dan La Ege. Dalam drama ini pengarang juga menyajikan bagaimana masyarakat Buton mempertahankan kebudayaan yang mereka yakini golongan atas atau keturunan bangsawan dalam cerita ini diperankan oleh pihak perempuan yaitu Wd. Abe tidak dibolehkan menikah dengan laki-laki yang berasal dari golongan bawah yaitu La Ege. Mereka dianggap tidak sepadan karena perbedaan kasta antara keduanya. Perbedaan kasta, yang menjadi budaya turun temurun dalam cerita ini masih sangat dipertahankan. Walaupun harus mengorbankan perasaan cinta antara kedua insan atau anak-anak mereka. Wd. Abe dan La Ege yang merasa bahwa budaya itu tidak adil bagi mereka, lalu mengambil jalan pintas yaitu kawin lari yang merupakan jalan satu-satunya yang harus ditempuh untuk menyatukan cinta mereka yang terhalang oleh adat yang menjadi jurang pemisah antara keduanya. Walaupun mereka sadar bahwa semua itu salah, namun kekuatan cinta mampu membuat mereka menepis semua rasa bersalah itu. Rasa bersalah yang bukan hanya kepada diri sendiri, namun rasa bersalah pada orang tua, masyarakat dan kebudayaannya yang dipertahankan oleh leluhurnya.<br />
Melihat kedua drama tersebut yang masing-masing mengangkat tema yang sama dan latar yang sama, yaitu tentang cinta terlarang yang diakibatkan karena perbedaan status atau kasta antara keduanya yang terjadi dalam masyarakat Buton. Drama ini juga diciptakan oleh La Ode Balawa dan La Ode Sadia yang jika dilihat dari gelar bangsawan yang melekat pada mereka menandakan bahwa keduanya juga keturunan bangsawan Buton. Jelas terlihat bahwa lingkungan atau sosial budaya sebagai realita yang betul-betul terjadi dalam masyarakat di mana pengarang berasal, menggambarkan bahwa karya sastra atau drama yang juga merupakan hasil imajiner mereka tidak lepas dengan kondisi atau apa yang terjadi pada masyarakatnya atau kultural atau disebut juga lokalitas pengarangnya. Pengarang melihat bahwa adanya budaya-budaya yang berkembang dalam masyarakatnya yaitu budaya-budaya kastaisme yang masih kental dan selalu dipertahankan. Walaupun kadang pergelokkan cinta mampu melawan dan menepis semua kebudayaan itu, tapi terkadang juga kebudayaan itu menghancurkan hati insan-insan yang terikat dalam lingkup kebudayaan tersebut dan terkadang juga menjadi perang kecil yang bisa menelan korban nyawa, seperti apa yang terjadi dalam drama Bulan Muda yang Terbenam, di mana Wani dan La Dumai nekad kawin lari dan akhirnya terbunuh karena mencoba melawan budaya atau tradisi yang berlaku. Hal ini menandakan bahwa adanya ketidakkonsistenan aplikasi adat atau tradisi yang seharusnya dipertimbangkan oleh para leluhur adat, namun tidak sedikit keegoisan yang lebih besar dan rasa malu yang semakin membukit membuat adat selalu dipertahankan.<br />
Kebudayaan perkawinan dan perjodohan yang sering sekali tidak dapat terlepas dari berbagai faktor, seperti dalam kedua drama tersebut yaitu faktor kasta sungguh sulit dihilangkan. Walaupun zaman semakin berkembang dan modernisasi semakin melaju yang disebut dengan kondisi dinamis. Namun tidak membuat semua hal itu membuat budaya yang diceritakan dalam kedua naskah drama tersebut juga bergerak dinamis seperti modernisasi, tetapi kebudayaan itu terus statis dipertahankan oleh para orang tua yang juga sebagai penggerak dan pewaris adat. Seperti orang tua Wani dalam drama Bulan Muda yang Terbenam, yaitu Amangkali, ayah Wani bagaimana ia bersih keras mempertahankan adat istiadat dan budayanya. Menentang keras hubungan anaknya Wani dengan La Domai karena ia merasa tidak pantas merangkul La Domai yang hanya orang biasa yang sungguh tidak sepadan dengannya. Ia lebih memilih laki-laki yang sepadan dengannya, walaupun harus mengorbankan dan melukai hati anaknya, Wani. Ia tidak peduli dengan cinta dan cinta. Amangkali hanya ingin tahu bahwa ia keturunan bangsawan dan Wani putrinya yang mengalir dalam darahnya darah bangsawan juga harus menikah dengan orang yang berhak dan pantas untuknya, yaitu laki-laki yang juga berasal dari golongan orang atas yang memilki kasta yang sederajat dengan Wani.<br />
Begitupun dengan apa yang terjadi dalam drama Ningrat, bagaimana ayah Wd. Abe bersih keras melarang anaknya Wd. Abe menikah dengan La ege yang hanya orang biasa. Walaupun juga ia tahu konsekuensi dari perbuatannya itu yaitu bisa melukai hati anaknya dan bisa saja anaknya nekad melakukan hal yang bisa lebih memalukan jika dibandingkan dengan bila melangsungkan pernikahan dalam ranah beda kasta.<br />
Jika kita melihat konsekuensi yang terjadi akibat adanya larangan-larangan atau batasan-batasan adat dan budaya yang dicanangkan orang tua terhadap anak-anaknya yang terjadi dalam kedua cerita dalam drama tersebut. Bukannlah hal yang lebih positif yang terjadi. Namun yang terjadi justru hal yang lebih mengerikan dan lebih ke hal negatif yang terjadi. Di mana kita lihat bahwa larangan atau batasan itu, atau tidak jarang ancaman-ancaman yang yang dilontarkan para orang tua tersebut, tidaklah merubah atau bahkan mengurungkan niat anak-anaknya untuk mengubah atau bahkan meninggalkan kekasih mereka yang jelas-jelas sudah ditentang oleh orang tua mereka. Karena rasa cinta yang terlanjur menyatu dan rasa ingin keluar dari tradisi dan batasan-batasan yang menurut mereka sudah tidak pantas lagi bagi mereka, membuat mereka semakin ingin lari dari semuanya. Mereka ingin menghancurkan benteng-benteng budaya yang hanya bisa mengecam hati dan jiwa mereka. Perbedaan kasta menurut mereka bukanlah hal yang logis dan menjadi jurang pemisah antara insan yang satu dengan insan yang lain, apalagi dalam hal perjodohan dan cinta suci. Manusia adalah makhluk ciptaan yang sama, manusia pasti ingin dilahirkan dalam kasta yang sama namun takdir kadang meletakkannya di tempat yang berbeda. Jadi perbedaan kasta adalah suatu kebudayaan yang seharusnya ditepis meski hal itu bisa menodai kodrat mereka dan menghasilkan dosa bagi dirinya, kepada orang tuanya, masyarakat, adat dan agamanya. <br />
Kita melihat seperti apa yang dilakukan Wani dan Ladomai, juga yang dilakukan Wd. Abe dan La Ege yaitu tekanan-tekanan yang diberikan orang tua mereka yang mengakibatkan tekanan psikis membuat mereka semakin bingung dan kita lihat apa yang mereka lakukan untuk melawan semua tekanan itu, yaitu kawin lari. Kawin lari merupakan pilihan terakhir yang mereka harus tempuh demi untuk menyatukan tekad dan cinta mereka. Mereka sudah tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Meyakinkan orang tua yang hanya diisi dengan penjelasan-penjelasan perasaan tidak akan mampu menepis keegoisan orang tua mereka. Walaupun mereka sadar kawin lari adalah hal yang tabuh dan bisa saja mengorbankan nyawa mereka. Namun demi untuk melawan adat dan budaya itu hal tersebut harus berani mereka lakukan dan itu juga diwujudkan sebagai tanda betapa mereka saling mencinta dan betapa mereka tertekan oleh adat dan budaya itu. Namun terkadang apa yang mereka lakukan itu justru menambah masalah baru. Seperti apa yang diceritakan dalam drama Bulan Muda yang Terbenam. setelah diketahui Wani dan Ladomai kawin lari, semakin menambah amarah orang tua Wani yang dianggap bahwa hal itu adalah pelanggaran besar dalam keluarganya. Ia memerintahkan agar Ladomai dibunuh dan hingga Ladomai pun terbunuh dan tanpa Amangkali menyadari hal itu justru semakin melukai hati putrinya, hingga putrinya pun nekad bunuh diri untuk membuktikan bahwa betapa ia mencintai Ladomai dan mungkin saja hal itu dilakukannya untuk memperlihatkan dan menyadarkan ayahnya betapa tidak adilnya ayahnya kepadanya, betapa tidak adilnya adat dan budaya itu yang bisa saja memakan korban insan-insan yang sama sekali tidak tahu apa-apa. Bukankah hal ini adalah hal yang seharusnya dipikirkan kembali dan seharusnya menjadi pertimbangan balik terhadap adat dan budaya tersebut.<br />
Jika kita memahami fonemena ini dan membandingkan dengan apa yang terjadi pada masyarakat kita. bahwa hal seperti ini tidak hanya terjadi pada masyarakat Cia-Cia atau masyarakat Buton. Tetapi hal yang sama juga terjadi pada etnik lain yang juga tidak kalah kental budayanya, yaitu masyarakat Bugis yang sampai sekarang budaya siri` masih terus dilestarikan. Bahkan masyarakat Bugis tidak hanya sebatas melihat pada perbedaaan kasta. Namun melihat pada berbagai aspek yaitu aspek etnik. Budaya siri` (malu) yang ditanamkan jika anak-anak atau keturunan mereka menikah dengan orang yang berasal dari etnik berbeda. Merupakan hal yang sangat tabuh dan hal yang sangat dilarang untuk dilakukan. Dengan melihat fonemena yang batas pergaulan semakin berkembang, bergaul bahkan merajuk cinta dengan laki-laki atau perempuan yang berbeda etnik sangat tidak bisa dipungkiri. Namun hal itu belum bisa menepis semua tradisi dan kebudayaan itu. Fakta sosial yang terjadi di kalangan remaja belum cukup menyadarkan para pewaris tradisi dan budaya yang terus saja berdiam pada apa yang diamininya.<br />
Cerita yang dikisahkan dalam kedua drama tersebut sebenarnya merupakan cerminan tentang apa yang terjadi pada masyarakat kita. Tentang apa yang sampai sekarang masih dipertahankan. Walaupun hal seperti tersebut sekarang ini mencoba untuk ditepis oleh nsan-insan sekarang meskipun belum sepenuhnya tertepis. Seharusnya orang tua membuka mata bahwa persoalan kasta bukanlah hal yang perlu dilestarikan. Perbedaan kasta bukanlah hal yang pembeda antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Karena bisa saja orang yang berasal dari kasta atau golongan atas perlakuan atau sifat dan sikapnya tidak mencerminkan yang semestinya dimiliki oleh orang yang berkasta atas. Namun sebaliknya orang yang tidak berkasta atas sifat dan sikapnya lebih mulia daripada orang yang berkasta atas. Tindak kebaikan seseorang tidak diukur dari kasta atau gelar bangsawan yang ada pada dirinya. Tetapi bagaimana seseorang menghargai dan menempatkan dirinya sedemikian baik dan bagaimana ia berlaku dan bersikap baik dalam bergaul dalam lingkungan hidupnya. Persoalan kasta bukanlah hal yang menjadi pertimbangan besar bahkan menjadi penghalang seseorang untuk menyatukan cinta dalam suatu ikatan pernikahan. Persoalan kasta hanyalah persoalan derajat-derajat keturunan yang melekat pada orang-orang yang memang memegang teguh suatu prinsip dan keyakinan yang mampu menduduki derajat kasta itu dengan baik. Namun jika kita melihat fonemena yang terjadi sekarang seseorang yang berderajat atau orang yang membangga-banggakan kasta atau derajat yang mereka miliki tidak jarang tidak sesuai dengan perbuatan dan sikap atau tata krama yang mereka tampilkan dalam kehidupannya dalam lingkup pergaulan di masyarakat.<br />
Simpulan dan Saran.<br />
<b>Simpulan</b><br />
Berdasarkan pada penganalisisan pada pembahasan, maka diperoleh simpulan penganalisisan bahwa dalam drama Bulan Muda yang Terbenam karya La Ode Balawa dan Ningrat karya La Ode Sadia keduanya menceritakan fonemena sosial yang terjadi dalam masyarakat yang disorot dari segi budaya perkawinan yang masih sering terjadi dalam budaya masyarakat yang tidak hanya terjadi pada masrayakat Cia-Cia atau masyarakat Buton, tetapi juga terjadi pada budaya atau tradisi masyarakat lain, seperti masyarakat Bugis yaitu masih ditemukannya perjodohan-perjodohan dan pertentangan pernikahan akibat perbedaan kasta, yang tidak sedikit berakhir dengan kericuhan dan pertentangan besar antara kedua pihak.<br />
<b>Saran</b><br />
Simpulan penganalisisan seperti yang telah dikemukakan tersebut menunjukkan bahwa fakta-fakta sosial yang disajikan dalam naskah drama seharusnya menyadarkan masyarakat yang masih mempertahankan tradisi perjodohan dan masih menganggap kasta adalah jurang pemisah apalagi dalam hal perjodohan dan pernikahan seseorang.<br />
<br />
<b>Daftar Pustaka </b><br />
Djibran, Iwan. 2005. Antologi Drama Sulawesi Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara.<br />
Hidayat, ahid. 2009. Kontrapropaganda dalam Drama Propaganda, Sejumlah Telaah. Kendari: FKIP Unhalu.<br />
Wahid, Sugira. 2004. Kapita Selekta Kritik Sastra, cetakan kedua. Makassar: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Negeri Makassar (UNEM).Jurnal Bastrahttp://www.blogger.com/profile/13569373624882193527noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5627439215651572331.post-20957707323887023552011-12-19T17:28:00.000-08:002011-12-22T23:24:23.058-08:00Nilai dan Moral dalam Cerita Islami<div style="text-align: justify;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGojal3ach5DNY2Ih-QISmte2SkmeFO2A5v37DjByIwfqa1_-5CgPtThWLE3EK2nAJLQtX9GRHPwT0trNTkRScoGmGYywPrckeqLurbg3xWG3IiBQVZsYJ-JNfU7PVjVU1JnkkM5TWjL0/s1600/ss.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGojal3ach5DNY2Ih-QISmte2SkmeFO2A5v37DjByIwfqa1_-5CgPtThWLE3EK2nAJLQtX9GRHPwT0trNTkRScoGmGYywPrckeqLurbg3xWG3IiBQVZsYJ-JNfU7PVjVU1JnkkM5TWjL0/s1600/ss.jpg" /></a></div>Cerita genre keagamaan atau yang dikenal juga dengan cerita relijius khususnya yang bergenre Islami dianggap sebagai cerita yang sepertinya tidak dapat lepas dari kehidupan umat muslim di dunia ini. Cerita- cerita tentang keagamaan selalu digemari sejak dulu sampai sekarang , baik dari kalangan dewasa, remaja, sampai di kalangan anak-anak dengan berbagai variasi cerita yang berdasarkan latar belakang pandangan dan pemahaman yang berbeda tentang sisi agama Islam yang sebenarnya<br />
<a name='more'></a>. Namun terkadang cerita tersebut sudah dianggap hal yang lumrah untuk dipahami, karena cerita yang disajikan itu sepertinya memang sudah ada dalam skemata mereka (penerima pesan) sebelumnya. Kesan tersebut segera timbul bila hanya melihat sampulnya yang selalu menampilkan kaligrafi-kaligrafi dan wajah manusia dengan latar dekoratif dalam sebuah misi keagamaan. Tokoh-tokohnya adalah biasanya di dominasi oleh para penyebar agama ( dai, kiai, ustadz) dan tidak sedikit juga menampilkan tokoh-tokoh biasa namun sangat taat dalam beribadah yang waktu senggangnya digunakan hanya untuk beribadah (berdakwa, sholat, mengaji, dan ibadah lainnya). Nama mereka juga biasanya menggunakan lambang yang menggambarkan keisalaman meraka misalnya Gus Jakfar, Kiai Saleh, Kiai Tawakkal, dan kadang juga dalam cerita nama tokohnya tidak disebutkan secara jelas namun yang ditampilkan hanya deskripsi tentang sikap dan kesibukannya memberi gambaran kepada kita tentang siapa ia sebenarnya. Mereka adalah orang-orang yang dianugerahi ilmu atau kemampuan tertentu yaitu kemampuan ketaatan yang begitu besar, tetapi mereka juga selalu diberi cobaan-cobaan yang seakan-akan menjadi pengukur tingkat keimanan dan kemampuaannya itu. Hidup mereka tidak begitu banyak dipengaruhi oleh kemegahan dunia, mereka hidup seadanya sebagai mana juga disyariatkan dalam Islam untuk hidup sesederhana mungkin. Gaya bicara yang begitu sopan dan bermakna, dengan selipan-selipan frasa Arab yang relatif tidak begitu berlebihan namun begitu banyak mengandung arti dan makna.</div><br />
Jika kita hanya melihat sepintas seperti di atas makna di balik cerita itu belum semua tersampaikan, karena di balik semua itu sebenarnya ada satu gambaran, ada satu pesan yang tersirat di balik tampilan-tampilan mereka. Nilai-nilai dan moral yang tak terpisahkan sebagai solusi berbagai permasalahan kehidupan dunia ini. Tulisan ini, yang berusaha menangkap nilai-nilai dan moral tersebut, didasarkan atas tiga cerpen yang dipilih secara khusus karena ternyata cerita Islami memperlihatkan tipe-tipe yang berbeda, tergantung nilai dan moral yang akan disampaikan dalam cerita tersebut . Dalam tipologisasi yang sederhana ini, setidaknya ada cerita Islami yang menampilkan pemuka-pemuka agama yang didominasi oleh para kaum Adam. Ada yang menampilkan seorang tokoh agama yang cerdik, memiliki ilmu-ilmu istimewa dan suka menggunakan ilmunya tersebut untuk menilai orang-orang di sekitarnya, ada juga yang menampilkan pria yang begitu bertanggungjawab dalam tugasnya sebagai seorang da`i sampai-sampai ia seakan-akan tidak menyadari akan posisi ia sebenarnya. Bahkan ada juga yang menampilkan seorang pria yang begitu taat dalam beribadah tanpa memperhatikan kehidupan dunianya. Tentu saja akan menghasilkan tipologi yang berbeda dan ada bentuk antaranya. Ketiga cerpen yang dipilih, Gus Jakfar, Robohnya Surau Kami , dan Amplop Abu-abu dapat dimasukkan sebagai tipe yang pertama, dan semua tokohnya adalah seorang pemuka agama dan orang biasa yang sangat taat beribadah. Penelitian yang terbatas ini secara khusus hanya akan melihat nilai-nilai dan moral yang ada di dalamnya, yang menyangkut keseluruhan aspek naratif dan narasinya.<br />
<br />
<b>Tokoh </b><br />
Setiap cerita Islami yang disajikan masing-masing memilki daya tarik masing-masing dalam hal menampilkan cerita-cerita yang diharapkan mampu menggugah hati penikmat cerita itu sendiri. Namun secara umum biasanya menampilkan cerita yang berisi penggambaran hidup, penggambaran perjalanan ibadah, keimanan yang begitu banyak menghadapi rintangan dan halangan sebagai hal yang tak bisa lepas dari keimanan itu sendiri, sebagai evaluasi dari besarnya ketaatan dan keimanan seorang hamba dan setelah mengahadapi semua itu barulah semua tergambar tingkat keimanan seseorang. Apakah ia mampu mengatasi rintangan ( cobaan-cobaan) dengan refleksi yang positif ataukah dengan refleksi yang negatif bagi dirinya. Dalam cerita yang berjudul Gus Jakfar dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustafa Basri, Gus Jakfar harus mengalami cobaan yang hapir selalu menjelma dalam ilmu atau kelebihan dirinya, namun sesuatu yang datang menghampiri dirinya yang mampu menyadarkannya dari kelebihan dan ilmu yang ia miliki. Dalam cerita Robohya Surau Kami karya A.A Navis seorang pria yang begitu taat beribadah, hidupnya hanya digunakan untuk beribadah, urusan dunia diabaikannya hingga akhirnya sesuatu datang menyadarkan ia dari semua itu dan ketaatannya itu membawa ia dalam sesuatu hal yang membingungkan dan kerugian bagi dirinya. Selain itu tak kala menariknya adalah cerita Amplop Abu-abu dalam kumpulan cerpen A.Mustafa Basri yang menampilkan suatu topik narasi penceritaan tokoh yang tegas, cerdik dalam berdakwa dan sangat sibuk, sampai ia tak pernah sadar dengan semua itu bahwa ia sebagai seseorang pembawa berita, pembawa pesan kepada orang banyak, suri tauladan, pengoreksi berbagai fonemena-fonemena tanpa pernah ia sadar mengoreksi dirinya sendiri hingga suatu saat seseorang menyadarkan ia dari semua hal itu. Hal-hal demikian menampilkan penceritaan yang memberi gambaran besar kepada kita akan hakikat ibadah yang sebenarnya dan bagaiman kita menanggapi serta memahami benang merah antara agama dan kehidupan kita di dunia ini yang selalu mengaburi pancaindera kita untuk melihat dan memahami suatu nilai-nilai tertentu dalam kehidupan ini.<br />
Menurut skemata saya, unsur tokoh dalam cerita agama khususnya yang bergenre Islami, kecenderungan cerita biasanya dipusatkan pada tokoh yang terlibat dalam cerita tersebut. Hal ini dapat di lihat dari berbagai komentar ataupun rekomedasi atau respon pembaca terhadap cerita-cerita yang disajikan. Pembahasan lebih banyak dipusatkan pada tokoh. <br />
<br />
<b>Tema </b><br />
Ada beberapa tema yang menonjol yang secara merata muncul dalam novel-novel tersebut yaitu iman dan cobaan.<br />
Tema iman dalam ketiga cerita relijius. Ketiga cerita yang dibahas menampilkan tokoh yang memiliki keimanan yang begitu besar dan beberapa paragraf-paragraf tertentu menggambarkan keimanan mereka. Tokoh-tokoh Islami sangat menunjukkan ketaatan mereka dalam beribadah, di mana waktu mereka habiskan hanya untuk beribadah sebanyak-banyaknya. Keimanan mereka itu juga tergambarkan dari kesibukan meraka sehari-hari. Gus Jakfar seorang da`i yang begitu taat beribadah, pemimpin pondok pesantren, si kakek dalam cerita RSS seorang penjaga surau yang juga sangat taat beribadah, dan si aku dalam cerita Amplop Abu-abu yang kesibukannya keliling berdakwa. <br />
Bagi mereka ibadah adalah hal yang sangat penting dalam hidup ini. Karena ibadah adalah dasar dari segala sesuatu di dunia ini. Hal itu juga terrlengkapi dengan ilmu-ilmu yang mereka miliki yaitu ilmu agama yang selalu diimplementasikan dalam ibadah mereka dengan pemahaman-pemahaman yang mereka miliki. <br />
Namun karena pemahaman-pemahaman dan ketaatannya yang begitu berlebihan membawa mereka seakan-akan lupa tentang fitrah diri mereka sebenarnya. Tentang hakikat insan ciptaan Tuhan yang sesungguhnya dan tugas-tugas mereka di dunia ini. Kelebihan yang mereka miliki selalu mereka jalani dengan berjalan tanpa menoleh sisi lain dari ketaatan dan ilmu yang dianugerahakan kepadanya. <br />
Mereka tak pernah menyadari akan ada sesuatu atau cobaan yang menyelimuti di balik keimanannya itu.<br />
<br />
<b>Iman dan Cobaan</b><br />
Dari awal telah disebutkan bahwa agama atau keimanan yang menjadi tema utama cerita yang bergenre Islami. Semua tokoh dalam cerita ini menggambarkan tingkat keimanan yang mereka miliki sudah dalam level tinggi. Keimanan tersebut tidak terlepas dari tingginya ilmu dan pemahaman yang mereka miliki yang juga menjadikan mereka selalu memanfaatkan ilmu dan pemahaman mereka dalam wujud keimanannya. <br />
Namun mereka selalu dihadapkan dengan cobaan-cobaan yang tak pernah mereka sadari, mereka tak pernah sadar bahwa semakin tinggi tingkat keimanan seseorang maka semakin banyak pula cobaan yang diberikan kepadanya. Cobaan itu hadir dalam keadaan yang begitu rumit untuk ditafsirkan sendiri. Seperti tokoh <br />
Gus Jakfar yang diberi ilmu dan ketaatan yang luar biasa, namun tak pernah ia sadari kalau itu semua ternyata adalah jalan untuk menguji keimanannya tentang bagaimana ia memaknai ilmu dan keimanannya tersebut. Tokoh kakek yang dianugerahi keimanan yang luar biasa, hingga ia tidak memperdulikan duniawinya, ia juga tak pernah sadar bahwa itu juga merupaka cobaan. Selain itu tokok si aku, yang juga memiliki keimanan yang begitu besar, kesibukannya menyebarkan agama. Memiliki pemahaman yang tinggi, tetapi ia tak pernah sadar bahwa di balik kelebihan yang ia miliki ada sesuatu kekurangan, kekurangan dalam mengoreksi dirinya sebelum ia mengoreksi orang lain. Semua hal tersebut menggambarkan cobaan di balik keimanannya itu selalu ada.<br />
Namun hal tersebut kembali lagi bagimana seseorang yang menyikapinya, apakah cobaan itu akan menyadarkannya untuk menyusun kehidupan dan keimanan mereka lebih baik lagi ataukah cobaan itu tidak menyadarkannya atau diabaikannya. Namun pada umumnya cobaan itu akan mengantar mereka akan sebuah perubahan terhadap apa yang mereka pahami selama ini.<br />
<div style="text-align: justify;"><br />
<b>Kesadaran </b><br />
Cerita relijius khususnya cerita Islami banyak memberi kesadaran kepada kita akan hakikat hidup yang sebenarnya, tentang nilai dan norma-norma yang tersirat dalam ajaran agama itu sendiri. Bagaimana kita memaknai suatu ajaran, keyakinan kita terhadap apa yang kita yakini selama ini. Menilai dan memahami sesuatu membutuhkan lpenalaran yang cerdik. Memahami sesuatu tidak membutuhkan perspektif dari satu arah atau satu sudut pandang saja. Namun dalam memaknai sesuatu membutuhkan perspektif dari berbagai arah dan sudut pandang. Karena kadang sesuatu yang dimaknai dari satu sudut pandang saja akan menyesatkan diri kita sendiri. Kita harus memahami bahwa agama itu bijak, agama itu mengerti. Pemaknaan yang salah juga akan berdampak salah dalam praktik yang diimplementasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika kita dalam sesuatu yang menurut kita benar, tanpa mau peduli dan mengoreksi apa yang kita lakukan itu, apakah sudah berjalan dengan benar atau tidak itu akan membuat kekelaman dalam hidup ini, namun di saat kita mulai menyadari akan hal yang kita jalani itu ternyata banyak hal yang belum sempat kita pahami yang seharusnya sangat penting untuk dipahami. Dalam cerita digambarkan bagaimana Gus Jakfar menyadari akan apa yang dilakukannya, yang mampu melihat sisi masa depan seseorang tapi apa yang terjadi tidak semua yang ada dalam benaknya itu benar, karena yang mampu menilai seseorang itu hanya Allah dan itu tidak pernah ia sadari karena tidak adanya pengereflisian diri. Begitu juga pada yang terjadi pada tokoh si kakek dalam cerita RSS dan si aku yang tidak pernah mengoreksi dirinya yang sudah diselimuti kesibukan ibadah dan kelebihan yang ia miliki, hingga kesadaran pun datang menghampirinya.<br />
<br />
<b>Kesimpulan </b><br />
Tokoh-tokoh utama dalam cerita relijius yang bernuansa Islami banyak menampilkan gambaran-gambaran akan sesuatu hal yang seakan-akan mengaburi pikiran-pikiran mereka yang tidak lain adalah penggelut agama itu sendiri. Ketika mereka sudah menganggap dirinya paling baik, karena merasa telah melakukan hal-hal yang menurut mereka hal yang terbaik.<br />
Namun mereka tidak menyadari bahwa di balik sikap dan tingkah lakunya itu ada sesuatu, ada nilai dan moral yang menyimpang dari perbuatan mereka. Cerita ini menyadarkan kita akan bagaimana kita merefleksi diri kita tentang apa yang kita perbuat di dunia ini. Dalam menyikapi perbuatan kita, moral kita selama ini.<br />
Saya pikir bahwa cerita- cerita ini mempunyai daya kemenarikan tersendiri. Di mana ketika kita terlena dengan semua kelebihan yang kita miliki, kita tidak menyadari bahwa di balik kelebihan itu ada hal yang harus kita sadari dan ketika kita beribadah kita tidak bisa berpikir bahwa kitalah yang terbaik di antara orang yang tidak beribadah. Menilai seseorang bukanlah hal mudah karena seseorang itu terlahir dari berbagai asal dan dasar. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
</div>Jurnal Bastrahttp://www.blogger.com/profile/13569373624882193527noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5627439215651572331.post-17706566485096399092011-12-19T17:24:00.000-08:002011-12-19T17:24:00.851-08:00Berbahasa yang Sopan dan Santun<div style="text-align: justify;">Mau menjadi pribadi yang baik ? biasakanlah berbahasa yang sopan dan santun !<br />
Sebelum kita memahami bahasa yang sopan dan santun itu bagaimana, kita terlebih dahulu memahami hakikat bahasa yang sebenarnya…….<br />
Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang berupa bunyi ujar yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa dalam fungsinya sebagai alat komunikasi yang keberadaannya sangat penting di masyarakat. Komunikasi melalui bahasa memungkinkan setiap orang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan sosialnya serta untuk mempelajari kebiasaan, kebudayaan, adat-istiadat serta latar belakang masing-masing. Oleh karena itu, banyak asumsi yang menyatakan bahwa salah satu untuk bisa membaurkan diri dan memahami dengan cepat pribadi masyarakat ataupun pribadi seseorang, maka pelajari bahasanya atau pelajari dan pahami bagaimana penggunaan bahasa masyarakat atau orang tersebut.<br />
Nah,,, setelah kita sudah memahami hakikat bahasa yang sesungguhnya, sekarang saatnya untuk memahami bahasa yang sopan dan santun itu seperti apa….</div><a name='more'></a><br />
Dalam kehidupan sehari-hari penggunaan bahasa untuk bersosialisasi tidak lepas dari sopan santun berbahasa. Dalam penilaian kesantunan berbahasa adalah bagaimana kita bertutur dan dengan siapa kita bertutur. Hakikatnya kesantunan berbahasa adalah etika kita dalam bersosialisasi di masyarakat dengan penggunaan, pemilihan kata yang baik dengan memperhatikan di mana, kapan, kepada siapa, dengan tujuan apa kita berbicara secara santun. Budaya kita menilai, berbicara dengan menggunakan bahasa yang santun akan memperlihatkan sejatinya kita sebagai manusia yang beretika, berpendidikan dan berbudaya yang mendapat penghargaan sebagai manusia yang baik.<br />
Teman-teman pernah sadar tidak, kalau kepribadian kita itu tercermin melalui tutur kata yang kita gunakan dalam keseharian kita. Simaklah penjelasan di bawah ini !<br />
Bahasa mencerminkan pribadi seseorang. Jika kitas selalu menggunakan bahasa yang baik dan penuh kesantunan orang akan mencitrakan kita sebagai pribadi yang baik dan berbudi. Karena memalui tutur kata seseorang mampu menilai pribadi dari orang tersebut. Sementara itu, jika dalam keseharian kita tidak memenuhi etika berbahasa santun. Orang lain akan mencitrakan kita sebagai pribadi yang buruk. Demikian pula dengan pentingnya bahasa bagi suatu bangsa. Melalui bahasa suatu bangsa akan dikenal oleh masyarakat dunia. Apakah bangsa tersebut termasuk termasuk bangsa yang ramah, sopan, dan santun. Atau bangsa yang cinta akan kebencian, permusuhan, dan perseteruan.<br />
Mengapa dikatakan demikian ? karena kita ketahui bersama dan sangat sering terjadi di sekitar kita ataupun bahkan kita alami sendiri bahwa tidak jarang kebencian, permusuhan, dan perseteruan itu muncul disebabkan oleh penggunaan bahasa kita yang tidak terkontrol dan kita terkadang terbawa emosi sehingga penggunaan bahasa yang tidak sesuai dengan fungsinya bisa melukai hati seseorang. Kita tidak pernah sadar akan hal itu. Kita tidak pernah sadar kalau apa yang kita lakukan itu merupakan tindak kekerasan. Tindak kekerasan dalam bentuk verbal, seperti memaki, memfitnah, menghina dan lain sebagainya.<br />
Hal lain juga yang lebih khusus lagi yaitu seringkali kita dalam menggunakan bahasa sudah tidak melihat di mana dan dengan siapa kita berbicara. Adat sopan santun yang diajarkan ketika berbicara dengan orang, dalam hal ini orang tua, guru/dosen, kakak, ataupun yang lain, untuk tetap memperhatikan bahasa yang kita gunakan sebagai tanda kemuliaan mereka terhadap kita, sudah kita tak mampu bedakan. Seringkali bahasa yang kita gunakan ketika berbicara dengan mereka sama halnya jika kita berbicara dengan teman, yang tidak lagi mencerminkan kesopan santunan dalam berbahasa.<br />
Kita tidak pernah sadar bahwa dari penggunaan bahasa yang kita gunakan dalam pergaulan hidup sehari-hari, sebenarnya adalah wujud atau cerminan dari kepribadian kita. Bagaimana semampu kita menggunakan bahasa yang sopan dan santun sehingga kita menjadi pribadi yang baik bagi diri kita dan untuk orang lain.<br />
Pentingnya berbahasa santun sangatlah jelas. Bahasa santun digunakan sebagai pencitraan pribadi, jati diri bangsa, dan alat pemersatu. Nah,,,Pendek kata marilah kita berupaya untuk berbahasa yang santun dan beradab !Jurnal Bastrahttp://www.blogger.com/profile/13569373624882193527noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5627439215651572331.post-70935813580359539792011-12-19T17:03:00.000-08:002011-12-19T17:03:15.074-08:00PROSES MORFOFONEMIK DAN KLASIFIKASI KATA DALAM BAHASA DAERAH BUGIS DIALEK BONE<b>MORFOFONEMIK BAHASA DAERAH BUGIS DIALEK BONE</b><br />
1. Prefiks ma-<br />
1) Tinro ( tidur)<br />
ma- + tinro<br />
ma- + ttinro( gemilasi)<br />
mattinro( sedang tidur)<br />
<br />
2) Nasu ( masak)<br />
Ma- + nasu <br />
Ma- + nnasu ( gemilasi)<br />
Mannasu( sedang memasak) <br />
<br />
3) Sessa <br />
ma- + sessa<br />
ma- + ssessa ( gemilasi)<br />
massessa ( sedang mencuci)<br />
<br />
2. Prefiks pa-<br />
<br />
1) Meng ( pancing)<br />
Pa- + meng<br />
Pa- + mmeng<br />
Pammeng( pemancing)<br />
<br />
2) Galung ( sawah)<br />
Pa- + galung<br />
Pa- + ggalung Paggalung( petani sawah)<br />
<br />
<br />
<b>KLASIFIKASI KELAS KATA DALAM BAHASA BUGIS DIALEK BONE</b><br />
1. Nomina ( kata benda)<br />
Ciri morfologis:<br />
Prefiks yang menunjukkan benda adalah prefiks (pa-)<br />
Kata-kata yang dibubuhi oleh awalan (pa-) adalah kata benda/ nomina.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Contoh: <br />
1) Pa- + bele( babat) pabbele( pembabat)<br />
KK/V KB/B<br />
Pabbele artinya orang yang pekerjaanya membabat rumput.<br />
<br />
2) Pa- + balu ( jual) pabbalu( penjual)<br />
KK/V KB/B<br />
Pabbalu artinya orang yang pekerjaanya menjual.<br />
<br />
3) Pa- + sompe( rantau) passompe( perantau)<br />
KK/V KB/B<br />
Passompe artinya orang yang pekerjaannya merantau<br />
<br />
2. Kata Kerja( verba)<br />
<br />
Kita mengenal kata kerja atau verba melalui cirri morfologis.<br />
Biasanya dalam bahasa Bugis prefiks yang menunjukkan kata kerja yaitu prefiks (ma-).<br />
<br />
Contoh: <br />
1) Ma- + sappa( cari) massappa( mencari)<br />
2) Ma- + lipa( sarung) mallipa( memakai sarung)<br />
3) Ma- + bene( istri) mabbena( beristri)<br />
<br />
3. Kata Sifat ( adjktifa).<br />
<br />
Kata sifat dalam bahasa Bugis dapat diketahui melalui ciri sintaksisnya, yaitu seperti dalam frase yang didahului oleh kata liwa ( sangat).<br />
<br />
Misalnya :<br />
1) Liwa pejje( sangat asin)<br />
2) Liwa mello( sangat elok)<br />
3) Liwa lampe( sangat panjang)<br />
4) Liwa bau( sangat harum)<br />
5) Liwa kate( sangat gatal)<br />
<br />
Dengan demikian kata pejje,mello, lampe, bau, dan kate merupakan kata sifat atau adjektif.<br />
<br />
4. Kata Tugas <br />
<br />
Kata tugas adalah kata yang secara potensial tidak dapat berdiri sendiri. Kata tugas dalam bahasa Bugis biasanya yaitu kata purani yang artinya sudah.<br />
<br />
Misalnya :<br />
1) Purani manre ( sudah makan)<br />
2) Purani cemme( sudah mandi)<br />
3) Purani massumpajang( sudah sholat)<br />
4) Purani matinro ( sudah tidur)<br />
5) Purani mallakkai( sudah bersuami)Jurnal Bastrahttp://www.blogger.com/profile/13569373624882193527noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5627439215651572331.post-79549345381884839282011-12-19T16:39:00.000-08:002011-12-19T16:39:34.488-08:00INTERKONEKSI PIKIRAN, BAHASA, DAN KEBUDAYAAN<div style="text-align: justify;"><b>Abstrak</b> : Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang jelas dan menyeluruh mengenai interkoneksi pikiran, bahasa, dan kebudayaan. Data yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah data dari beberapa buku yang membahas tentang pikiran, bahasa, maupun buku tentang kebudayaan. Hasil dari analisis dari sejumlah buku tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya pikiran manusia mampu mengingat dan memikirkan hal-hal atau objek yang bukan hanya objek nyata yang terjangkau oleh penglihatan namun juga objek yang berada jauh dari dirinya. Segala sesuatu dalam pikiran itu akan nampak dan diketahui jika semua itu diwujudkan dalam bentuk bahasa. Bahasa sebagian ditentukan oleh pikiran, kemampuan melakukan sesuatu dan faktor sosial budaya yang dimiliki oleh manusia pada umumnya. Di samping itu bahasa juga dibatasi oleh keterbatasan manusia, keterbatasan daya ingat, alat wicara, alat pendengar, serta indera yang lain. Bahasa ditentukan oleh pikiran teknologi dan kebudayaan pemakainya. Pikiran, bahasa, dan kebudayaan merupakan tiga hal yang saling mempengaruhi.<a name='more'></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
<b>Kata Kunci</b> : hubungan, pikiran, bahasa, budaya.<br />
<br />
<br />
<br />
<b>Pendahuluan</b><br />
<br />
Pikiran merupakan alat batin untuk berpikir. Pikiran merupakan proses respon otak terhadap apa yang telah terjadi saat ini, saat sekarang maupun saat yang akan datang. Pikiran atau ingatan memungkinkan manusia untuk berpikir tentang segala hal dan dari hasil pikiran itu diwujudkan dalam bentuk ujaran maupun tindakan untuk disampaikan kepada makhluk lain atau orang lain dan untuk mewujudkan tersebut menggunakan medium bahasa sebagai wujud penyampaian atas apa yang dalam pikirannya.<br />
Bahasa adalah media atau perwujudan hasil pikiran yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya tau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat-istiadat, tingkah laku, tata kramamasyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat. Hal ini menandakan bahwa dalam berbahasa diperlukan suatu tindakan berpikir dan dari hasil pemikiran tersebut diwujudkan dalam bentuk bahasa. Hasil dari pemikiran atau buah pikiran ini berkaitan dengan akal manusia yang kita kenal dengan budaya atau kebudayaan.<br />
Kebudayaan merupakan hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Kebudayaan adalah hasil kreativitas dan buah pemikiran dari anggota dari masing-masing masyarakat bahasa. Kebudayan yang lahir dari individual dan kelompok masyarakat mencerminkan sikap dan daya pikir masyarakat tersebut.<br />
Berdasarkan pemikiran di atas, dapat dikatakan keterkaitan antara pikiran, bahasa, dan kebudayaan adalah suatu refleksi kehidupan manusia yang sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial yang berhubungan dengan makhluk hidup lain yang mampu berpikir dan mereflek atau merespon hal-hal yang ada di sekitarnya dengan mengungkapkan hasil dari pemikirannya melalui medium bahasa dan hasil dari pemikiran yang diutarakannya mencerminkan akal dan budinya atau dikenal dengan kebudayaannya. Maka dari itu, penulis berupaya mengungkap hubungan tersebut dengan menyertakan pandangan dan konsep dari beberapa ahli yang berhubungan dengan penjelasan ini.<br />
<br />
<br />
<b>Analisis Konseptual</b><br />
<br />
Ada tiga hal yang melingkupi manusia sebagai makhluk sosial yang berkomunikasi dengan makhluk hidup lain, yaitu pikiran, bahasa, dan kebudayaan yang mencerminkan tindakan hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lain. Manusia memikirkan sesuatu dan untuk mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya yaitu menngunakan bahasa, dan dari hasil pikirannya yang dibahasakan tersebut menghasilkan suatu sikap dan tindakan yang kita kenal dengan kebudayaan yang sebagai cerminan dari suatu proses pemikiran yang mampu berorientasi terhadap kebiasaan dalam kehidupan masyarakat.<br />
<br />
<b>Pikiran </b><br />
Pikiran berasal dari kata dasar pikir. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Boediono, 2005), Pikir artinya akal budi ; ingatan; angan-angan; kata dalam hati; kira, kemudian mendapat sufiks –an menjadi kata pikiran. Pengertian pikiran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3,2007 bahwa pikiran adalah akal budi atau ingatan. Sedangkan menurut Sri Utami (1992 :30), menyatakan bahwa berpikir adalah aktivitas mental manusia. Dalam proses berpikir kita merangkai-rangkaikan sebab akibat, menganalisinya dari hal-hal yang khusus atau atau kita menganalisisnya dari hal-hal yang khusus ke yang umum. Berpikir berarti merangkai konsep-konsep.<br />
Proses berpikir dilalui dengan 3 langkah yaitu : pembentukan pikiran, pembentukan pendapat, penarikan kesimpulan dan pembentukan keputusan. Pertama, pada pembentukan pikiran. Pada pembentukan pikiran inilah manusia menganalisis ciri-ciri dari sejumlah objek. Objek tersebut kita perhatikan unsur-unsurnya satu demi satu. Misalnya mau membentuk pengertian manusia. Kita akan menganalisis ciri-ciri manusia. Kedua, pada pembentukan pendapat. Pada pembentukan pendapat ini seseorang meletakkan hubungan antara dua buah pengertin atau lebih yang dinyatakan dalam bentuk bahasa yang disebut kalimat. Pembentukan pendapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu pendapat afirmatif atau pendapat positif yaitu pendapat yang mengiakan sesuatu hal, pendapat negatif yaitu pendapat yang tidak menyetujui, dan pendapat modalitas yaitu pendapat yang memungkinkan sesuatu. Ketiga, pada penarikan kesimpulan. Pada penarikan kesimpulan ini melahirkan tiga macam kesimpulan, yaitu keputusan induktif, deduktif, dan analogis ( perbandingan).<br />
Terkait dengan penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa pikiran adalah akal budi atau ingatan terhadap sesuatu dengan menganalisis sesuatu yang muncul dalam ingatan tersebut. dalam proses penganalisisan, kemudian mengaitkan hal-hal yang ada dalam ingatan antara yang satu dengan yang lain sampai pada akhirnya terbentuk suatu kesimpulan analogi.<br />
<br />
<b>Bahasa</b><br />
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Boediono,2005), bahasa artinya system lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.<br />
Bahasa juga diartikan sebagai rangkain bunyi yang mempunyai makna terrtentu. Rangkain bunyi yang kita kenal sebagai kata, melambangkan suatu konsep. Kumpulan lambang bunyi, dala pemikirannya, tidak terlepas dari yang satu dengan yang lainnya. Kata-kata itu dipergunakan dalam suatu sistem yang terpola. Walaupun bunyi-bunyi bahasa itu di gunakan sudah benar dan sesuai dengan konvensi (kesepakatan pengguna bahasa), tetapi bila hubungan antar kata-katanya itu tidak berpola, maka proses komunikasi tidak akan berjalan dengan baik (Kosasih,E ,2003 : 2).<br />
Bahasa secara umum dapat diartikan sebagai sistem lambang vokal manusia yang digunakan sebagai alat untuk berpikir, menyatakan pikiran, dan memahami pikiran seseorang ( Kunjana Rahadi, 2001:159). Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan ke dalam simbol-simbol abstrak. Dengan adanya bahasa kita dapat memikirkan sesuatu meskipun objek yang kita pikirkan itu tidak berada di dekat kita . Dengan simbol-simbol bahasa yang abstrak, kita dapat memikirkan sesuatu secara terus-menerus dan kemudian mewariskan pengalamannya itu kepada generasi-generasi berikutnya. Kita dapat pula mengkomunikasikan sesuatu yang kita pikirkan dan dapat pula belajar sesuatu dari orang lain.<br />
Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu, memahami bahasa akan memungkinkan kita memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. <br />
Terkait dengan beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan sebagai medium komunikasi atau wujud untuk mengekspresikan sikap dan perasaan kita. kita dapat menyampaikan segala hal yang berkecamuk dalam pikiran dan hati kita, tidak hanya dengan gerak-gerik tubuh, tetapi juga dengan bahasa lisan maupun tulisan. Dengan bahasa kita dapat menyatakan kegembiraan, kesedihan, harapan, dan perasaan-perasaan lainnya. Dengan bahasa, pikiran-pikiran tersebut dapat dimengerti orang lain dengan lebih mudah.<br />
<br />
<b>Kebudayaan</b><br />
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sangsekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi aatu akal ) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Malville J. Herkovits dan Bronislaw Mlinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.<br />
Kebudayaan sebuah hal yang kompleks yang mengcakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral hukum, adapt-istiadat dan kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang di dapat oleh manusia sebagai anngota masyarakat (Taylor, 1924 : 1).<br />
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral ,hukum, adat-istiadat, dan kemampuan- kemampuan yang lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.<br />
Dari berbagai defenisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan. Kebudayaan adalah sesuatu yang merupakan hasil pemikiran manusia yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, yang salah satunya adalah bahasa yang merupakan peralatan hidup manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lain ataupun makhluk hidup lain.<br />
<br />
<b>Pembahasan. <br />
<br />
Pikiran dan Bahasa</b><br />
Bahasa secara umum dapat kita pahami sebagai sistem lambang vokal manusia yang digunakan sebagai alat berpikir, menyatakan pikiran, dan memahami pikiran seseorang. Dari defenisi ini dapat dilihat bahwa hubungan yang sangat jelas antara bahasa dan pikiran seseorang. Bahasa sama sekali tidak dapat dipisahkan dari pkiran seseorang.<br />
Hubungan antara bahasa dan pikiran menghasilkan beberapa pandangan. Sebagian berpendapat bahwa orang dapat berikir tanpa memakai bahasa, sementara yang lain ada juga yang berpendapat bahasa dan pikiran tidak dapat dipisahkan (Soenjono Darjowidjojo, 2005 : 283). Selain itu pendapat lain seperti yang dikemukakan oleh Edward Sapir yang ditopang oleh muridnya , Benjamin Lee Whorf. Keduanya berpendapat bahwa bahasalah yang berpengaruh terhadap pikiran seseorang. Dengan tegas linhuis ini menyatakan bahwa kategori dan kaidah kebahasaaan berpengaruh besar terhadap pikiran seseorang. Dengan kata lain kedua bengawan lingistik itu, semakin baik penguasaan bahasa seseorang semaikn baik pula kualitas berpikir orang yang bersangkutan dalam pertuturan kesehariannya.<br />
Kubu kedua mendasarkan pada gagasan aliran filsafat mentalistik dan kontivistik yang berpebdapat bahwa pikiranlah yang menjadi penentu kualitas kebahasaan seseorang. Kubu ini dipelopori aoleh Noam Chomsky yang menyatakan bahwa sejak manusia lahir, ia telah dibekali pikiran dan sejumlah kompetensi bahasa ( language competence). Dengan perkataan lain, dasar kompetensi bahasa seseorang itu sifatnya bawaab (innate)., bukan karena hasil dari sebuah pembelajaran. Kompetensi bahasa seseorang yang sudah didapatkan sejak lahir itu, bahkab mungkin sejak sebelum lahir pun bayi sudah belajar dari bahasa ibunya, akan sangat menetukan perilaku kebahasaan seseorang.Kedua pendapat pakar di atas, masing-masing memiliki perpekstif sendiri dalam melihat pikiran dan bahasa.<br />
Bahasa dan pikiran seseorang pada dasarnya selalu saling mempengaruhi sampai manusia mencapai tataran perkembangan tertentu. Sebagai contoh, anak-anak kecil di bawah usia remaja mendapatkan pengaruh bahasa yang sangat besar dari anak-anak yang lebih dewasa, orang tua, dan juga lingkungan sekitarnya.<br />
Kalau kita mencermati bagaimana seorang anak di bawah tiga atau lima tahun belajar bahasa, ia akan cenderung meniru apapun yang dibahasakan oleh orang-orang di sekitarnya. Untuk itulah pada tahap perkembangan tersebut seseorang anak perlu mendapatkan exposure bahasa yang baik agar ia pun kelak dapat berbahasa dengan baik pula. Semaikn bertambah dewasa, agaknya pengaruh bahasa terhadap pikiran itu cenderung semaikn menurun dan lama- kelamaan pikirannyalah yang akan menetukan kualitas kebahasaan seseorang. Semaikn orang bisa berpikir denga baik dan logis, akan semaikin baik dan runtutlah bahasa yang digunakan dalam keseharian hidupnya. Sebaliknya semakin orang tidak bisa berpikir dengan baik dan runtut, akan semakin jeleklah pemakaian bahasanya. <br />
Di dalam pikiran seseorang juga terdapat semacam representasi kompetensi bahasa yang dinamakan proposisi. Ketika seseorang menerima pesan dlam bertutur, akan segerahlah terbentuk beberapa proposisi did lam pikirannya tentang esensi pesan yang diterimanya. Ketika orang membaca tau mendengar tuturan “ Eka sedang makan bakso di warung Kelapa Gading”, maka preposisi yang akan terbangun dalam pikiran orang itu adalah “makan bakso” sebagai preposisi utamanya dan bagian-bagian lain sebagai proposisi sekunder serta tersiernya. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik kompetensi kebahasaan seseorang akan semaikn baiklah bangunan preposisi di dalam pikirannya. <br />
Contoh lain dari interkoneksi bahasa dan pikiran ini yaitu bisa kita lihat dair pernyataan berikut. Seseorang pembawa acara yang menuturkan “waktu dan tempat kami persilakan!” dalam sebuah acara resmi, jelas menunjukkan bahwa bangunan proposisi dalam pikiran si pembawa acara itu tidak baik. Maka yang tertuang dalam perwicaraanya pun tidak benar alias salah nalar. Demikian pula ketika seseorang mengatakan “Untuk mengingat waktu , marilah rapat pagi ini, segera kita mulai !” representasi kompetensi bahasa bahasa dalam pikiran orang itu tampak tidak baik karena salah nalar.<br />
Tuturan yang benar dan menunjukkan bangunan proposisi yang baik dari kedua contoh di atas secara berturutan adalah : “Waktu dan tempat kami serahkan!”, “Untuk mengefesienkan waktu , marilah rapat pagi ini segera kita mulai”. Dari uraian yang disampaikan di atas kiranya dapat menjadi semakin jelas bagaimana gambaran hubungan antara bahasa dan pikiran.<br />
Terkait dengan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya suatu pikiran yang kompleks dinyatakan dalam kalimat yang kompleks pula. Begitu pula sebaliknya, suatu kalimat yang kompleks umumnya mengungkapkan suatu pikiran yang kompleks pula. Kompleksitas makna dalam kalimat yang kompleks ini muncul karena dalam suatu kalimat yang kompleks selalu terdapat proposisi yang jumlahnya lebih banyak. Proposisi-proposisi ini dipadat-padatkan dalam kalimat dengan memakai piranti seperti penanda relative yang dipakai untuk menambahkan anak kalimat pada induk kalimat.<br />
<br />
<b>Bahasa dan Budaya</b><br />
Kebudayaan adalah hasil kreativitas dan buah pemikiran dari masing-masing anggota masyarakat ( Kujana Rahadi, 2001 : 162). Dengan demikian, hubungan bahasa dengan kebudayaan pun tampak erat. Teori relativitas linguistik yang dikemukakan oleh Edward Sapir dan kemudian dilanjutkan Benjamin Lee Whorf menjelaskan bahwa bahasa membentuk pikiran seseorang. Setelah pikiran orang itu terbentuk dan tertata dengan baik selanjutnya akan mampu berkreasi dan berinovasi membentuk sebuah bangunan kebudayaan (Kunjana Rahadi, 2001 : 162 ).<br />
Kebudayaan suatu bangsa tidak pernah statis. Kebudayaan selalu dinamis dan beradaptasi dengan dinamika masyarakat. Termasuk bahasa yang merupakan unsur yang membangun sebuah kebudayaan. Bila diibaratkan , bahasa dan budaya merupakan dua sisi mata uang yang berbeda, namun tidak dapat dipisahkan karena bahasa merupakan cermin budaya dan identitas dari penuturnya.<br />
Contoh sederhana dalam keluarga, suatu fonemena pengaruh bahasa terhadap kebudayaan, yaitu seperti ketika anak masih kecil. Pada saat menangis biasanya ibunya menenangkan dengan perkataan “Ayo, diam, itu ada Pak Polisi”, dan dalam lingkup pendidikan tidak asing lagi kita sering dengar ketika orang berbicara tentang pelajaran Matematika “Matematika itu susah”. Kedua contoh yang merupakan contoh sebab-akibat dalam kehidupan sosial kita yang bukanlah obat yang benar untuk memecahkan masalah. Ini menandakan kesalahan dalam ujaran bahasa akan melahirkan budaya yang tidak baik pula.<br />
Terkait dengan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa sangat berpengaruh terhadap kebudayaan, begitu pun sebaliknya kebudayaan sangat berpengaruh terhadap bahasa. Sehingga untuk menciptakan budaya yang baik dalam suatu kelompok masyarakat tergantung dari bagaimana kelompok masyarakat itu mampu bernalar dengan baik dalam mengeluarkan suatu ujaran bahasa.<br />
<br />
<b>Pikiran, Bahasa, dan Kebudayaan</b><br />
Pikiran merupakan akal atau daya ingat yang dimiliki manusia untuk mereflek segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya. Pikiran yang disampaikan dengan menggunakan medium bahasa. Semakin baik kompetensi pikiran seseorang, maka semiki baik pula bahasa yang diujarkannya.<br />
Bahasa adalah alat untuk berkomunikasi dan interaksi yang sangat penting bagi manusia. Selain bahasa juga merupakan simbol peradaban suatu bangsa. Setiap bahasa memiliki ciri khas yang tidak terdapat pada bahasa lain.sehingga kematian sebuah bahasa <br />
mengakibatkan hilangnya sebuah kebudayaan. Kurangnya tindakan pikiran seseorang, menyebakan bahasa yang diujarkan juga akan tidak baik atau kurang.<br />
Kurangnya pemikiran dan nalar yang kurang menyebabkan ujarannya juga kurang logis sehingga juga menghasilkan suatu sikap yang tidak logis. Ini akan berdampak terhadap kebudayaan suatu kelompk masyarakat. <br />
Sebagai contoh kecil, jika kita memperhatikan orang yang pikirannya yang tidak waras, bahasa-bahasa yang diujarkannya juga logis dan cenderung tidak tersusun dengan baik, dan itu juga akan berdampak pada tingkah lakunya dalam bergaul atau bersikap dalam lingkup kehidupannya. Sebaliknya, jika kita memperhatikan orang yang memiki pikiran yang baik, maka orang tersebut juga mampu menganalisis atau merangkai bahasa yang kompleks dalam ujarannya, sehingga hal ini juga berdampak dalam tingkah laku sehari-harinya dalam berhubungan dengan masyarakat sekitarnya atau kita kenal dengan budaya hidupnya.<br />
Terkait dengan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pikiran, bahasa dan kebudayaan merupakan cerminan sistematis dalam hidup seseorang dalam berinteraksi dengan segala sesuatu yang di sekitarnya.<br />
<br />
<b>Simpulan dan Saran</b><br />
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan maka diperoleh simpulan analisis bahwa kebudayaan setiap bangsa selalu berbeda sepanjang masa selama bahasanya juga terus dalam kondisi berbeda. Ketika penguasaan bahasa seseorang tidak baik, pikiran orang itu juga tidak akan berkualifikasi baik. Kalau kualitas pikiran seseorang tidak baik maka ia juga tidak akan bisa optimal berpikir dan berkreasi dalam membentuk kebudayaan. Dengan perkataan lain, ketika bahasa suatu kelompok masyarakat tidak dikuasai dengan baik, kebudayaan kelompok masyarakat itu pun tidak akan bisa terlahir dan berkembang dengan baik. <br />
Kebudayaan akan dapat maju dan berkembang dengan baik dan optimal manakala jaringan pemikiran warga masyarakat tertata secara baik. Jaringan pemikiran mereka akan dapat tertata dengan baik hanya apabila penguasaan bahasa masyarakat juga berkualifikasi baik. <br />
<br />
<b>Pustaka Acuan</b><br />
<br />
Dardjowijojo, Soenjono. 2003. Rampai Bahasa, Pendidikan, dan Budaya. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.<br />
. 2005. Psikolinguistik; Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.<br />
Kosasih. 2003. Ketatabahasaan dan Kesusastraan. Bandung : CV Yrama Widya Bandung.<br />
Rahadi, Kunjana. 2001. Serpih-serpih Masalah Kebahasaan Indonesiaan. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.<br />
. 2006. Bahasa Kaya, Bahasa Berwibawa; Bahasa Indonesia dalam Dinamika Konteks Ekstrabahasa. Yogyakarta : CV Andi Offset.<br />
Suwandi, Suwandi. 2008. Serbalinguistik; Mengupas Pelbagai Praktik Berbahasa. Surakarta : UNS Press.<br />
Sulfiah. 2008. Sosiolinguistik. Kendari : FKIP UNHALU. <br />
<br />
<br />
<br />
</div>Jurnal Bastrahttp://www.blogger.com/profile/13569373624882193527noreply@blogger.com0